Rabu, 09 April 2014

DICULIK DEWA PEREMPUAN



RIMBA kian suram. Berisik daun-daun mulai mengerikan. Aroma masakan kentang semakin pekat menusuk hidung. “Lekas temukan jalan keluar, Sayang.” Seorang perempuan berkata kepada kekasihnya. Lututnya gemetar, dari leher di balik kerudungnya, keringat mengalir deras. Ia ketakutan.
Kekasih diam saja, ia putus asa. Sedari tadi, sejak azan asar berkumandang dari kejauhan, mereka sudah tujuh belas kali berputar di tempat yang sama. Di jalanan yang sama. Dan, langit mulai gelap. Tak ada yang bisa didengarkan selain bunyi-bunyi mengerikan khas penghuni rimba. Dan, aroma masakan kentang semakin menguat. Mereka berpagutan.
Menjelang tengah malam, mereka tertidur dengan alas dua tas ransel besar. Tidak ada gairah pada keduanya. Mereka tertidur dalam kelelahan, lelah yang menyedihkan. Kekasih bermimpi, bukan mimpi basah. Ia didatangi seorang Dewa Perempuan. Parasnya cantik, rambutnya bergelombang menutupi buah dadanya yang sintal. Sekali lagi, Kekasih tidak mimpi basah. Keringatnya semakin deras dalam ketakutan.
Kekasih mengangkat kakinya perlahan, menjauh dari Dewa Perempuan. Kakinya berat, sangat berat. Dewa perempuan itu masih saja tersenyum. Senyumnya mengerikan, senyum yang membunuh. Kekasih berusaha sekuat tenaga mengambil jarak, dan ia lupa, tadi, sebelum Dewa Perempuan datang, ia sedang bermesraan dengan perempuannya. Dan, ia sudah kabur, tapi perempuannya tak ikut. Kekasih menghentakkan kakinya, “Sial! Perempuanku tertinggal bersama Dewa Perempuan.”
Kekasih ingin kembali, menjemput perempuannya. Dari dalam rimba yang sangat kelam, ia mendengar jeritan perempuannya. “Kasih, kasih! Di mana engkau? Jemput aku. Dewa Perempuan mulai memakan tubuhku. Kelingking kakiku sudah lenyap separuhnya, Kasih. Kasih, di mana engkau? Kasih!” tuturan yang mengerikan. Perempuannya berteriak dengan nada penuh kesakitan. Kekasih benar tidak sampai hati, ia ingin menjemput. Ingin sekali. Tapi, di depannya sudah ada pintu rimba, pintu menuju jalan ke luar. Pintu yang mengantarkkannya pada keluarganya. Ibunya yang menenun sarung, dan ayahnya yang mencangkul sawah.
Kekasih berdoa, ia memohon dijalankan pada keputusan baik.
Kekasih membantu Ayah mencangkul. Pada malamnya, ia melipat kain-kain tenunan Ibu. Kekasih baru akan tidur setelah orang rumah tertidur. Ia akan terus bekerja selagi masih ada yang terjaga. Kekasih menjadi tidak pernah lelah. Energinya tidak habis-habis, semua yang berat-berat, ia angkat. Semua yang sulit-sulit, ia pecahkan. Kekasih menjadi omong-omongan di kampung, pemudi-pemudi di sana mulai mencari cara menarik hatinya.
Kekasih tidak tahu, bahwa di dalam rimba, masih tertinggal perempuannya yang sekarang hanya tinggal kepala. Lehernya ke bawah sudah dinikmati Dewa Perempuan. Dan, Kekasih juga tidak tahu, bahwa hidupnya menjadi luar biasa setelah menumbal perempuannya pada Dewa Perempuan itu. Kekasih menjadi tidak tahu apa-apa. Ia hanya berjalan, bekerja, dan bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Kekasih menjadi lugu.
Sekarang pada setiap pagi pemudi-pemudi desa bersolek di kaca riasnya. Malam harinya mereka memasak gulai kambing, dan pada siangnya mereka berkunjung ke rumah Kekasih. Mereka tidak pernah mendapati Kekasih sedang ada di rumah.
Pemudi-pemudi desa mengubah jadwal bertamunya. Pada pagi hari mereka memasak, siangnya bersolek, dan malamnya berkunjung ke rumah Kekasih. Dan, mereka menemui Kekasih dan keluarganya sudah tertidur. Mereka tidur di ruang depan dengan pintu terbuka. Tidur mereka, membentuk formasi segitiga berantakan, begitu setiap malamnya.
Dan, untuk terakhir kalinya, pemudi mencoba mengganti jadwalnya kembali. Pada siang hari mereka memasak, malamnya bersolek, dan pagi hari mereka bertamu ke rumah Kekasih.
Mereka berhasil! Ibu Kekasih sedang menenun sarung, dan Kekasih sedang melipat-lipat kain. Tapi mereka tidak menemukan Kekasih seperti yang dikatakan orang-orang kampung. Tidak ada lelaki dengan lesung pipit dalam dan senyum menawan di sana. Di samping Ibu yang sedang melipat-lipat kain, hanya ada lelaki berbulu lebat, tingginya tak sampai 100 meter. Tatapan matanya kosong, ia melipat sambil sesekali menggaruk dada dan betisnya yang berbulu lebat itu.
Pemudi-pemudi ingin lari, mereka merinding.
***
Rimba sudah kosong, tidak ada jeritan perempuan yang minta dijemput. Aroma masakan kentang goreng sudah tidak tercium. Orang-orang sudah berani datang ke rimba lagi. Mereka mencari kayu, mencari tanaman, dan apa saja yang bisa memberi kehidupan.
Menyedihkan! Mereka tidak menemukan pemberi kehidupan di rimba. Sama seperti alur pada kunjungan ke rimba sebelumnya, mereka tertidur kemudian bermimpi bertemu Dewa Perempuan. Bagi mereka yang memilih jalan pulang, sampailah mereka di rumahnya masing-masing. Dengan ayah, ibu, dan sanak saudaranya. Meski, sepulang dari rimba mereka juga mengerdil dan berbulu lebat.
Kampung kembali rusuh. Kali ini, seorang janda berparas oriental menangis histeris di depan balai. Ia memukul-mukul teras balai dengan kepalan tinjunya. Telapak tangannya menjadi lebam.
Orang-orang beramai-ramai mengerumuninya, mereka membentuk lingkaran dengan Si Janda berada di porosnya. Mereka saling berbisik, saling berprasangka. Dari mulut Janda, terdengar umpatan-umpatan yang tidak jelas, samar sekali. Janda masih saja memukul-mukul teras balai dengan tangannya yang sekarang mulai berdarah.
Dari balik kerumunan orang-orang yang bergunjing, keluarlah Kekasih dengan pakaian hitam menutupi sekujur tubuhnya yang berbulu lebat. Ia bersujud di kaki Janda. Orang-orang terperangah, semesta semakin gila, mereka mengurut-ngurut dada.
Janda menatap lekat-lekat pada mata Kekasih. Ia menemukan sepasang mata balam dengan sinar yang hilang. Ia mendekat, lebih dekat, dan lekat. “Tak salah lagi! Di mana putriku, He?” Janda berteriak keras sekali. Suaranya menggema ke seisi balai. Lingkaran melebar, orang-orang agak menjauh. Takut jika tiba-tiba Janda mengamuk dan menerkam mereka.
“Ampun, Janda. Putrimu tertinggal di rimba. Ia dimakan Dewa Perempuan.” Kekasih semakin kuat sujudnya, ia mencium kaki Janda.
Janda kembali menangis. Darah di tangannya semakin deras. Orang-orang bubar, mereka buru-buru ke dukun, meminta petunjuk atas kejadian yang menimpa kampungnya.
Di balai, Kekasih mematung dalam sujudnya kepada Janda.
Menjadi dukun di kampung tidak gampang, kau setidaknya harus hapal ayat-ayat di kitab. Karena, selera orang-orang kampung ini lain, mereka mendudukkan dukun sebagai tukang baca ayat-ayat.
Setelah menghafal ayat, kau akan dijadikan Tuhan ke dua oleh mereka. Percayalah, selepas itu, uang tidak akan berhenti mengalir kepadamu.
Dukun membaca ayat-ayat, lalu bernarasi dengan nada seperti orang dicekik.
“Ah, tidak. Tidak! Ada sepasang kekasih bermesraan di rimba. Mereka berpagutan, bericuman, lalu menjadi satu. Mereka tidak tahu, di rimba itu, ada sepasang mata dewa yang cemburu. Dewa Perempuan! Ya, ya!”
Kalian tahu? Dewa Perempuan itu mulai rusuh. Disuruhnya daun-daun di rimba bergesekan menimbulkan suara gaduh. Lalu, pelan-pelan, ia mengirim doa jahat kepada sepasang kekasih. Mereka tertidur. Dan, Dewa Perempuan membawa lari satu di antara mereka.
Sebentar-sebentar, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang dibawa lari oleh Dewa Perempuan itu.” Dukun mulai terbatuk-batuk. Salah satu dari penduduk kampung menyuguhinya minuman.
“Oh, si wanita rupanya. Dari balik cengkeraman Dewa Perempuan, aku melihat kerudung putih terjulai.”
“Lalu ke mana perginya si lelaki, Dukun?” seorang bujangan dengan nada ingin tahu meracau tanpa izin.
Dukun geram imajinasinya dilangkahi. “Lelaki kembali ke rumahnya. Ia tidak mengurusi perempuannya lagi.” Dukun menyelesaikan narasinya.
Orang-orang kampung pintar sekali membuat kegaduhan. Usai dari rumah Dukun, mereka kembali ke balai. Mereka merasa sudah cukup mendapat bantuan dari Dukun.
Di sana, Janda dan Kekasih mematung. Suara tangisan Janda sudah tidak terdengar. Seorang lelaki yang tadinya bertanya kepada Dukun mengambil posisi berdiri di depan Janda.
“Anakmu diculik Dewa Perempuan. Kekasih tololnya ini, tidak menghalangi Dewa Perempuan ketika ingin menculik anakmu. Mereka dalam persetubuhan yang hina.”
Kekasih berdiri, ditatapnya dalam-dalam manik mata laki-laki yang berdiri di hadapan Janda.
Tiba-tiba dari dalam balai yang sedari tadi hening, keluar seorang lelaki dan perempuan dengan sarung menutupi belahan dadanya. Bulu-bulu pada sekujur tubuh Kekasih hilang, ia tidak lagi kerdil. Diumpatnya perempuan dengan sarung di dada itu.
“Aku mencarimu hampir gila, Sundal.”
Sleman, 28 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar