Mereka
dikerumuni orang-orang yang minta foto bersama. Dengan modal dua botol bedak
bayi, seplastik gincu ala moler, dan beberapa meter kain vuring mereka berpose
di sana. Ada yang mukanya dibuat menyerupai kuntilanak. Lain lagi, ada vuring
yang diikat seperti pocong. Ya, tentu mereka berlagak hanya seperti hantu-hantu
Indonesia. Setelah kutanya, “Biar cinta tanah air,” akunya.
Coba
kau alihkan pandangan 45 derajat dari sekumpulan makhluk nyata yang
berpura-pura halus tadi. Di sana, segerombolan, mungkin jika mereka kecil-kecil
bisa kusebut sebakul, mahasiswa sedang menampilkan tarian Aceh. Dari
bisik-bisik penonton, kuketahui mereka bisa menari berbagai macam tarian:
saman, liko’ pulo, ratoeh, atau apalah itu. Mereka memakai songket, lalu
menjinjing kotak berlilit songket juga. Di samping tikar tempat duduknya,
kulihat sebuah banner bertuliskan “Diplomasi
Budaya melalui Duta Seni Mahasiswa”. Ah, aku tak tau itu maknanya apa. Berat,
Bung!
Aku
suka menyaksikan mahasiswa-mahasiswa itu. Pada setiap malam selepas magrib, aku
sudah duduk di trotoar, hanya beberapa meter dari tempat langganan mereka.
Jikalau mereka datang, aku buru-buru mendekat. Kubeli sebatang rokok pada
ibu-ibu yang menjajakannya pada mahasiswa itu, lalu kulirik mereka satu-satu.
Aduhai, cantik dan tampan!
Tidak
berhenti di sana, aku tak pernah alpa mengambil potret mereka. Biasanya, mereka
menggunakan baju dengan warna selaras. Merah, putih, hitam, dan oh ya, ungu! Mereka kian menarik dengan
seragamnya yang sebenarnya tidak seragam.
Pada
minggu-minggu berikutnya, aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya. Pertanyaanku
sederhana saja, aku menanyakan makna tarian yang mereka bawakan. Pertanyaanku
dijawab enteng oleh masing-masing anggota. Rasa ingin tahuku bagi mereka tampak
menjijikkan. Mereka tertawa kecut beberapa detik dulu sebelum menjawab tanyaku.
Aku geram. Aku memutuskan untuk berhenti bertanya dan tidak memedulikan mereka
lagi.
Benar
saja, besok malam, aku bertahan duduk di trotoar favoritku. Aku tidak mendekat
pada penari-penari angkuh itu. Aku hanya melihat mereka dari jauh. Binar mata
mereka dusta. Mereka menipu penonton dengan muka girang dan senyum terhebatnya.
Mereka menjadikan orang-orang yang melihat terpaksa, atau barangkali ikhlas
mengisi kotak berlilit songketnya. Mereka membuat penonton-penonton takjub. Padahal,
di dalam diri mereka masing-masing, kuyakin mereka saling menghina
penonton-penonton dungu yang mau menghabiskan waktu (dan memberikan uang)
menyaksikan penampilan mereka.
Sejenak
aku memutar mata. Aku kaget. Duh! Ke mana larinya patung emas dengan kaki
mengangkang khas paha kekar seorang bujangan? Biasanya, dari arah tempat penari
berlagak, kau geser pandangan sedikit ke selatan. Di situlah! Ya, di situ! Tepat! Tepat di situ! Biasanya ada sebuah patung
emas yang konon dihibahkan raja dari pulau seberang.
Malam
ini patung itu hilang, dan orang-orang diam saja. Aku tidak melihat seorang
pun, bahkan setengah orang pun, atau seperempat orang pun yang kasak-kusuk
mencari di mana patung itu berada sekarang. Mereka masih saja tertawa-tawa.
Tidak
ada yang peduli.
Mungkin,
jika bangunan kuno megah yang berdiri di sudut kiri perempatan itu juga hilang,
mereka bakal tetap tertawa-tawa.
Mereka sudah terlalu bahagia. Bahkan, ketika kehilangan, mereka bingung
bagaimana cara mengungkapkannya. Mereka lupa cara bersedih. Bayangkan!
Bayangkan, Bung! Cara bersedih saja mereka tidak tahu, bagaimana cara mereka
mencuci kakus? Ah...
atau jangan-jangan mereka punya staf khusus yang menangani masalah kakus
mereka? Tapi bagaimana jika staf khusus itu juga sama seperti mereka. Sama,
lupa cara bersedih dan bagaimana mencuci kakus. Apa mereka mencari orang lain?
Orang lain di luar kerajaan mereka yang setiap harinya dekat dengan kesedihan.
Barangkali kerajaan tetangga, Kerajaan Lupa Bahagia.
Aku
mengambil penerang di tasku. Kuarahkan senter kecilku ke bawah. Malam ini juga,
aku akan mencari patung emas itu. Sebelum ayam berkokok dan matahari sampai,
aku harus sudah membawanya dan mengacungkannya pada pihak berwajib. Aku akan
dipuji sebagai pahlawan yang sangat berjasa. Namaku akan tertera di surat-surat
kabar. Aku akan dikenal seluruh rakyat. Barangkali, aku juga dipinang raja
menjadi menantunya. Dan, penari-penari merasa menyesal pernah merendahkanku.
Mereka buru-buru mencariku dan meminta maaf, lalu aku akan kembali menghina
mereka. Barulah, aku akan hidup tentram dan bahagia. Ah! Akhirnya aku menemukan
cara berbahagia.
Sudah
hampir sepertiga malam, senterku tidak berhasil menyoroti patung emas khas paha
kekar seorang bujangan. Bodohnya, nyala lampu senterku meredup. Sesekali ia
berkedip, lalu mati. Kudiamkan beberapa saat lalu kunyalakan lagi, ia berkedip
dan mati lagi. Kudiamkan beberapa saat, lalu kunyalakan lagi. Sama saja, ia
berkedip dan mati. Kudiamkan lagi, kali ini agak lama. Dan, ia tak mau nyala
lagi. Kulempar senterku ke arah selokan di kanan jalan. Bunyinya dahsyat!
Barangkali berbenturan dengan dinding semen di dasar selokan.
Aku
mengumpat kebodohan pembuat senter. Ingin rasanya aku meminjam mikrofon para
pendemo, lalu berteriak pada semua orang di sini untuk membantuku mencari
patung yang hilang. Oh, aku lupa menarasikan para pendemo. Pendemo-pendemo itu,
Bung...
seperti kurang kerjaan. Dipakainya uang jajan dari mak bapaknya untuk membeli
sebuah poster bergambar raja kita. Kemudian, beramai-ramai, di depan gedung
kuno megah itu, dibakarnya poster itu. Apa tidak bodoh, Bung? Sama saja mereka
membakar duit dari bapak dan maknya. Ingin kutatar mereka tentang susahnya
mencari duit. Tapi aku tak sanggup. Aku hanya pernah sekali mendekati seorang
pendemo. Kutanyakan alasannya mengapa mau membakar duit dari mak bapaknya.
Belum kuapa-apakan, Sumpah! Belum kumarahi dia sudah menangis. Seorang gadis
berkerudung merah yang tadinya adalah provokator demo paling keren menurutku
itu tiba-tiba saja menjadi kecut hatinya. Ia terisak di hadapanku. Katanya,
bapaknya masih mencari kayu dan makanan di hutan, dan maknya masak dengan
tungku dari kayu-kayu itu. Aku terkekeh. Bodohnya, bodohnya. Entah, entah siapa
yang sedang berada dalam kebenaran. Cerita tentang mak dan bapak si pendemo
yang masih mencari kayu di hutan, atau seorang penanya cerdas yang enggan
percaya ini.
Malam
ini pendemo-pendemo itu tidak muncul lagi. Barangkali, gadis yang kusapa
kemarin tersadar dan melarang pasukannya berdemo. Aku sedikit lega pada mereka,
masih punya hati nurani rupanya. Masih bisa diingatkan, masih bisa mendengar
ucapan orang lain, masih menghargai orang lain. Ah! Kau pancing aku bicara
tentang harga-menghargai, Bung! Ingatanku kembali pada penari-penari angkuh
itu. Semakin hari, kebencianku kepada penari-penari yang seharusnya sudah
kulupakan semakin menjadi-jadi. Aku sudah mencari-cari perhatian baru. Tapi
tetap saja, setelah kerjaku pada perhatian baru usai, aku akan mengingat
penari-penari itu.
Lebih
baik aku pulang saja. Ini sudah hampir pagi. Barangkali, aku bisa menunda
kebencianku hingga besok hari.
***
Matahari
sampai, kututurkan sebuah sumpah. Nanti malam, aku akan datang menyaksikan
penari-penari itu, lalu akan kupermalukan mereka di depan para penonton. Entah
dengan cara apa, aku belum memikirkannya sedetail itu. Masih ada 12 jam sebelum
aku beraksi, masih panjang. Akalku masih bisa bekerja keras. Mungkin, begitulah
caraku berbahagia, Bung. Jika kau tidak suka dan barangkali kau adalah salah
satu penonton di sana nanti, kau bisa memprotesku. Atau, kau bawa saja golok
dan langsung membunuhku.
Aku
sudah di lokasi. Penonton sudah memenuhi selasar tempat penari akan beraksi.
Mereka menyaksikan seorang penari dengan muka girang, rambut keriting, matanya
sipit, dan hidungnya mancung ke dalam sedang berorasi membelakangi
teman-temannya. Ia menyampaikan misi budayanya (yang sampai saat ini aku belum
bisa memahaminya) kepada para penonton. Suaranya lantang, membelah malam yang
agak hening ini. Aku ikut-ikutan terpana, penari-penari itu, juga pintar akting
ternyata. Serupa polos saja raut wajah mereka yang berhati kasar itu.
Riuh
tepuk tangan penonton usai si penari keriting berorasi. Satu per satu dari
mereka mulai merogoh dompet, mengambil selembar seratus ribuan, lalu saling
pamer memasukkannya ke dalam kotak berlilit songket milik penari dengan
terlebih dahulu mengangkat uang itu setinggi-tingginya. Aku mengeluarkan pecahan terbesar mata uang kerajaan kita. Kira-kira
begitulah redaksi kata-katanya.
Penari
mulai berlagak. Aku semakin iri hati. Mereka membuat penonton kian terpesona. Gerakan
tegas mereka dalam setiap tarian, memunculkan ketakutan dalam hatiku. Aku
takut, jikalau aku tetap tidak bahagia setelah membuat mereka bersedih. Aku
takut, jikalau tidak menemukan titik temu antara kesedihan orang lain dengan
kebahagiaanku. Dan, aku takut, kalau aku salah mengambil rencana.
“Bubar!
Bubar!” Dua orang satpam berseragam hitam dengan sebatang tongkat bercahaya di
tangannya. Mereka mencak-mencak di hadapan penari. Dimintanya surat izin pemakaian
tempat untuk menampilkan tarian di sana. Katanya, tanah ini milik kerajaan. Dan, setiap pemakai harus
punya surat izin resmi dari kerajaan.
Aku
ternganga.
Begitulah,
Bung! Begitu sulitnya hidup di kuasa kerajaan ini. Untuk meminta uang tidak
kepada raja saja, kau harus dapat persetujuan resmi dulu dari sang raja. Aku
terkekeh. Mampus!
Taman
Rektorat UGM, 24 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar