Rabu, 09 April 2014

MEMBELI TANAH RAJA



Mereka dikerumuni orang-orang yang minta foto bersama. Dengan modal dua botol bedak bayi, seplastik gincu ala moler, dan beberapa meter kain vuring mereka berpose di sana. Ada yang mukanya dibuat menyerupai kuntilanak. Lain lagi, ada vuring yang diikat seperti pocong. Ya, tentu mereka berlagak hanya seperti hantu-hantu Indonesia. Setelah kutanya, “Biar cinta tanah air,akunya.
Coba kau alihkan pandangan 45 derajat dari sekumpulan makhluk nyata yang berpura-pura halus tadi. Di sana, segerombolan, mungkin jika mereka kecil-kecil bisa kusebut sebakul, mahasiswa sedang menampilkan tarian Aceh. Dari bisik-bisik penonton, kuketahui mereka bisa menari berbagai macam tarian: saman, liko’ pulo, ratoeh, atau apalah itu. Mereka memakai songket, lalu menjinjing kotak berlilit songket juga. Di samping tikar tempat duduknya, kulihat sebuah banner bertuliskan “Diplomasi Budaya melalui Duta Seni Mahasiswa”. Ah, aku tak tau itu maknanya apa. Berat, Bung!
Aku suka menyaksikan mahasiswa-mahasiswa itu. Pada setiap malam selepas magrib, aku sudah duduk di trotoar, hanya beberapa meter dari tempat langganan mereka. Jikalau mereka datang, aku buru-buru mendekat. Kubeli sebatang rokok pada ibu-ibu yang menjajakannya pada mahasiswa itu, lalu kulirik mereka satu-satu. Aduhai, cantik dan tampan!
Tidak berhenti di sana, aku tak pernah alpa mengambil potret mereka. Biasanya, mereka menggunakan baju dengan warna selaras. Merah, putih, hitam, dan oh ya, ungu! Mereka kian menarik dengan seragamnya yang sebenarnya tidak seragam.
Pada minggu-minggu berikutnya, aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya. Pertanyaanku sederhana saja, aku menanyakan makna tarian yang mereka bawakan. Pertanyaanku dijawab enteng oleh masing-masing anggota. Rasa ingin tahuku bagi mereka tampak menjijikkan. Mereka tertawa kecut beberapa detik dulu sebelum menjawab tanyaku. Aku geram. Aku memutuskan untuk berhenti bertanya dan tidak memedulikan mereka lagi.
Benar saja, besok malam, aku bertahan duduk di trotoar favoritku. Aku tidak mendekat pada penari-penari angkuh itu. Aku hanya melihat mereka dari jauh. Binar mata mereka dusta. Mereka menipu penonton dengan muka girang dan senyum terhebatnya. Mereka menjadikan orang-orang yang melihat terpaksa, atau barangkali ikhlas mengisi kotak berlilit songketnya. Mereka membuat penonton-penonton takjub. Padahal, di dalam diri mereka masing-masing, kuyakin mereka saling menghina penonton-penonton dungu yang mau menghabiskan waktu (dan memberikan uang) menyaksikan penampilan mereka.
Sejenak aku memutar mata. Aku kaget. Duh! Ke mana larinya patung emas dengan kaki mengangkang khas paha kekar seorang bujangan? Biasanya, dari arah tempat penari berlagak, kau geser pandangan sedikit ke selatan. Di situlah! Ya, di situ! Tepat! Tepat di situ! Biasanya ada sebuah patung emas yang konon dihibahkan raja dari pulau seberang.
Malam ini patung itu hilang, dan orang-orang diam saja. Aku tidak melihat seorang pun, bahkan setengah orang pun, atau seperempat orang pun yang kasak-kusuk mencari di mana patung itu berada sekarang. Mereka masih saja tertawa-tawa.
Tidak ada yang peduli.
Mungkin, jika bangunan kuno megah yang berdiri di sudut kiri perempatan itu juga hilang, mereka bakal tetap tertawa-tawa. Mereka sudah terlalu bahagia. Bahkan, ketika kehilangan, mereka bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Mereka lupa cara bersedih. Bayangkan! Bayangkan, Bung! Cara bersedih saja mereka tidak tahu, bagaimana cara mereka mencuci kakus? Ah... atau jangan-jangan mereka punya staf khusus yang menangani masalah kakus mereka? Tapi bagaimana jika staf khusus itu juga sama seperti mereka. Sama, lupa cara bersedih dan bagaimana mencuci kakus. Apa mereka mencari orang lain? Orang lain di luar kerajaan mereka yang setiap harinya dekat dengan kesedihan. Barangkali kerajaan tetangga, Kerajaan Lupa Bahagia.
Aku mengambil penerang di tasku. Kuarahkan senter kecilku ke bawah. Malam ini juga, aku akan mencari patung emas itu. Sebelum ayam berkokok dan matahari sampai, aku harus sudah membawanya dan mengacungkannya pada pihak berwajib. Aku akan dipuji sebagai pahlawan yang sangat berjasa. Namaku akan tertera di surat-surat kabar. Aku akan dikenal seluruh rakyat. Barangkali, aku juga dipinang raja menjadi menantunya. Dan, penari-penari merasa menyesal pernah merendahkanku. Mereka buru-buru mencariku dan meminta maaf, lalu aku akan kembali menghina mereka. Barulah, aku akan hidup tentram dan bahagia. Ah! Akhirnya aku menemukan cara berbahagia.
Sudah hampir sepertiga malam, senterku tidak berhasil menyoroti patung emas khas paha kekar seorang bujangan. Bodohnya, nyala lampu senterku meredup. Sesekali ia berkedip, lalu mati. Kudiamkan beberapa saat lalu kunyalakan lagi, ia berkedip dan mati lagi. Kudiamkan beberapa saat, lalu kunyalakan lagi. Sama saja, ia berkedip dan mati. Kudiamkan lagi, kali ini agak lama. Dan, ia tak mau nyala lagi. Kulempar senterku ke arah selokan di kanan jalan. Bunyinya dahsyat! Barangkali berbenturan dengan dinding semen di dasar selokan.
Aku mengumpat kebodohan pembuat senter. Ingin rasanya aku meminjam mikrofon para pendemo, lalu berteriak pada semua orang di sini untuk membantuku mencari patung yang hilang. Oh, aku lupa menarasikan para pendemo. Pendemo-pendemo itu, Bung... seperti kurang kerjaan. Dipakainya uang jajan dari mak bapaknya untuk membeli sebuah poster bergambar raja kita. Kemudian, beramai-ramai, di depan gedung kuno megah itu, dibakarnya poster itu. Apa tidak bodoh, Bung? Sama saja mereka membakar duit dari bapak dan maknya. Ingin kutatar mereka tentang susahnya mencari duit. Tapi aku tak sanggup. Aku hanya pernah sekali mendekati seorang pendemo. Kutanyakan alasannya mengapa mau membakar duit dari mak bapaknya. Belum kuapa-apakan, Sumpah! Belum kumarahi dia sudah menangis. Seorang gadis berkerudung merah yang tadinya adalah provokator demo paling keren menurutku itu tiba-tiba saja menjadi kecut hatinya. Ia terisak di hadapanku. Katanya, bapaknya masih mencari kayu dan makanan di hutan, dan maknya masak dengan tungku dari kayu-kayu itu. Aku terkekeh. Bodohnya, bodohnya. Entah, entah siapa yang sedang berada dalam kebenaran. Cerita tentang mak dan bapak si pendemo yang masih mencari kayu di hutan, atau seorang penanya cerdas yang enggan percaya ini.
Malam ini pendemo-pendemo itu tidak muncul lagi. Barangkali, gadis yang kusapa kemarin tersadar dan melarang pasukannya berdemo. Aku sedikit lega pada mereka, masih punya hati nurani rupanya. Masih bisa diingatkan, masih bisa mendengar ucapan orang lain, masih menghargai orang lain. Ah! Kau pancing aku bicara tentang harga-menghargai, Bung! Ingatanku kembali pada penari-penari angkuh itu. Semakin hari, kebencianku kepada penari-penari yang seharusnya sudah kulupakan semakin menjadi-jadi. Aku sudah mencari-cari perhatian baru. Tapi tetap saja, setelah kerjaku pada perhatian baru usai, aku akan mengingat penari-penari itu.
Lebih baik aku pulang saja. Ini sudah hampir pagi. Barangkali, aku bisa menunda kebencianku hingga besok hari.
***
Matahari sampai, kututurkan sebuah sumpah. Nanti malam, aku akan datang menyaksikan penari-penari itu, lalu akan kupermalukan mereka di depan para penonton. Entah dengan cara apa, aku belum memikirkannya sedetail itu. Masih ada 12 jam sebelum aku beraksi, masih panjang. Akalku masih bisa bekerja keras. Mungkin, begitulah caraku berbahagia, Bung. Jika kau tidak suka dan barangkali kau adalah salah satu penonton di sana nanti, kau bisa memprotesku. Atau, kau bawa saja golok dan langsung membunuhku.
Aku sudah di lokasi. Penonton sudah memenuhi selasar tempat penari akan beraksi. Mereka menyaksikan seorang penari dengan muka girang, rambut keriting, matanya sipit, dan hidungnya mancung ke dalam sedang berorasi membelakangi teman-temannya. Ia menyampaikan misi budayanya (yang sampai saat ini aku belum bisa memahaminya) kepada para penonton. Suaranya lantang, membelah malam yang agak hening ini. Aku ikut-ikutan terpana, penari-penari itu, juga pintar akting ternyata. Serupa polos saja raut wajah mereka yang berhati kasar itu.
Riuh tepuk tangan penonton usai si penari keriting berorasi. Satu per satu dari mereka mulai merogoh dompet, mengambil selembar seratus ribuan, lalu saling pamer memasukkannya ke dalam kotak berlilit songket milik penari dengan terlebih dahulu mengangkat uang itu setinggi-tingginya. Aku mengeluarkan pecahan terbesar mata uang kerajaan kita. Kira-kira begitulah redaksi kata-katanya.
Penari mulai berlagak. Aku semakin iri hati. Mereka membuat penonton kian terpesona. Gerakan tegas mereka dalam setiap tarian, memunculkan ketakutan dalam hatiku. Aku takut, jikalau aku tetap tidak bahagia setelah membuat mereka bersedih. Aku takut, jikalau tidak menemukan titik temu antara kesedihan orang lain dengan kebahagiaanku. Dan, aku takut, kalau aku salah mengambil rencana.
“Bubar! Bubar!” Dua orang satpam berseragam hitam dengan sebatang tongkat bercahaya di tangannya. Mereka mencak-mencak di hadapan penari. Dimintanya surat izin pemakaian tempat untuk menampilkan tarian di sana. Katanya, tanah ini milik kerajaan. Dan, setiap pemakai harus punya surat izin resmi dari kerajaan.
Aku ternganga.
Begitulah, Bung! Begitu sulitnya hidup di kuasa kerajaan ini. Untuk meminta uang tidak kepada raja saja, kau harus dapat persetujuan resmi dulu dari sang raja. Aku terkekeh. Mampus!
Taman Rektorat UGM, 24 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar