Rabu, 09 April 2014

DICULIK DEWA PEREMPUAN



RIMBA kian suram. Berisik daun-daun mulai mengerikan. Aroma masakan kentang semakin pekat menusuk hidung. “Lekas temukan jalan keluar, Sayang.” Seorang perempuan berkata kepada kekasihnya. Lututnya gemetar, dari leher di balik kerudungnya, keringat mengalir deras. Ia ketakutan.
Kekasih diam saja, ia putus asa. Sedari tadi, sejak azan asar berkumandang dari kejauhan, mereka sudah tujuh belas kali berputar di tempat yang sama. Di jalanan yang sama. Dan, langit mulai gelap. Tak ada yang bisa didengarkan selain bunyi-bunyi mengerikan khas penghuni rimba. Dan, aroma masakan kentang semakin menguat. Mereka berpagutan.
Menjelang tengah malam, mereka tertidur dengan alas dua tas ransel besar. Tidak ada gairah pada keduanya. Mereka tertidur dalam kelelahan, lelah yang menyedihkan. Kekasih bermimpi, bukan mimpi basah. Ia didatangi seorang Dewa Perempuan. Parasnya cantik, rambutnya bergelombang menutupi buah dadanya yang sintal. Sekali lagi, Kekasih tidak mimpi basah. Keringatnya semakin deras dalam ketakutan.
Kekasih mengangkat kakinya perlahan, menjauh dari Dewa Perempuan. Kakinya berat, sangat berat. Dewa perempuan itu masih saja tersenyum. Senyumnya mengerikan, senyum yang membunuh. Kekasih berusaha sekuat tenaga mengambil jarak, dan ia lupa, tadi, sebelum Dewa Perempuan datang, ia sedang bermesraan dengan perempuannya. Dan, ia sudah kabur, tapi perempuannya tak ikut. Kekasih menghentakkan kakinya, “Sial! Perempuanku tertinggal bersama Dewa Perempuan.”
Kekasih ingin kembali, menjemput perempuannya. Dari dalam rimba yang sangat kelam, ia mendengar jeritan perempuannya. “Kasih, kasih! Di mana engkau? Jemput aku. Dewa Perempuan mulai memakan tubuhku. Kelingking kakiku sudah lenyap separuhnya, Kasih. Kasih, di mana engkau? Kasih!” tuturan yang mengerikan. Perempuannya berteriak dengan nada penuh kesakitan. Kekasih benar tidak sampai hati, ia ingin menjemput. Ingin sekali. Tapi, di depannya sudah ada pintu rimba, pintu menuju jalan ke luar. Pintu yang mengantarkkannya pada keluarganya. Ibunya yang menenun sarung, dan ayahnya yang mencangkul sawah.
Kekasih berdoa, ia memohon dijalankan pada keputusan baik.
Kekasih membantu Ayah mencangkul. Pada malamnya, ia melipat kain-kain tenunan Ibu. Kekasih baru akan tidur setelah orang rumah tertidur. Ia akan terus bekerja selagi masih ada yang terjaga. Kekasih menjadi tidak pernah lelah. Energinya tidak habis-habis, semua yang berat-berat, ia angkat. Semua yang sulit-sulit, ia pecahkan. Kekasih menjadi omong-omongan di kampung, pemudi-pemudi di sana mulai mencari cara menarik hatinya.
Kekasih tidak tahu, bahwa di dalam rimba, masih tertinggal perempuannya yang sekarang hanya tinggal kepala. Lehernya ke bawah sudah dinikmati Dewa Perempuan. Dan, Kekasih juga tidak tahu, bahwa hidupnya menjadi luar biasa setelah menumbal perempuannya pada Dewa Perempuan itu. Kekasih menjadi tidak tahu apa-apa. Ia hanya berjalan, bekerja, dan bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Kekasih menjadi lugu.
Sekarang pada setiap pagi pemudi-pemudi desa bersolek di kaca riasnya. Malam harinya mereka memasak gulai kambing, dan pada siangnya mereka berkunjung ke rumah Kekasih. Mereka tidak pernah mendapati Kekasih sedang ada di rumah.
Pemudi-pemudi desa mengubah jadwal bertamunya. Pada pagi hari mereka memasak, siangnya bersolek, dan malamnya berkunjung ke rumah Kekasih. Dan, mereka menemui Kekasih dan keluarganya sudah tertidur. Mereka tidur di ruang depan dengan pintu terbuka. Tidur mereka, membentuk formasi segitiga berantakan, begitu setiap malamnya.
Dan, untuk terakhir kalinya, pemudi mencoba mengganti jadwalnya kembali. Pada siang hari mereka memasak, malamnya bersolek, dan pagi hari mereka bertamu ke rumah Kekasih.
Mereka berhasil! Ibu Kekasih sedang menenun sarung, dan Kekasih sedang melipat-lipat kain. Tapi mereka tidak menemukan Kekasih seperti yang dikatakan orang-orang kampung. Tidak ada lelaki dengan lesung pipit dalam dan senyum menawan di sana. Di samping Ibu yang sedang melipat-lipat kain, hanya ada lelaki berbulu lebat, tingginya tak sampai 100 meter. Tatapan matanya kosong, ia melipat sambil sesekali menggaruk dada dan betisnya yang berbulu lebat itu.
Pemudi-pemudi ingin lari, mereka merinding.
***
Rimba sudah kosong, tidak ada jeritan perempuan yang minta dijemput. Aroma masakan kentang goreng sudah tidak tercium. Orang-orang sudah berani datang ke rimba lagi. Mereka mencari kayu, mencari tanaman, dan apa saja yang bisa memberi kehidupan.
Menyedihkan! Mereka tidak menemukan pemberi kehidupan di rimba. Sama seperti alur pada kunjungan ke rimba sebelumnya, mereka tertidur kemudian bermimpi bertemu Dewa Perempuan. Bagi mereka yang memilih jalan pulang, sampailah mereka di rumahnya masing-masing. Dengan ayah, ibu, dan sanak saudaranya. Meski, sepulang dari rimba mereka juga mengerdil dan berbulu lebat.
Kampung kembali rusuh. Kali ini, seorang janda berparas oriental menangis histeris di depan balai. Ia memukul-mukul teras balai dengan kepalan tinjunya. Telapak tangannya menjadi lebam.
Orang-orang beramai-ramai mengerumuninya, mereka membentuk lingkaran dengan Si Janda berada di porosnya. Mereka saling berbisik, saling berprasangka. Dari mulut Janda, terdengar umpatan-umpatan yang tidak jelas, samar sekali. Janda masih saja memukul-mukul teras balai dengan tangannya yang sekarang mulai berdarah.
Dari balik kerumunan orang-orang yang bergunjing, keluarlah Kekasih dengan pakaian hitam menutupi sekujur tubuhnya yang berbulu lebat. Ia bersujud di kaki Janda. Orang-orang terperangah, semesta semakin gila, mereka mengurut-ngurut dada.
Janda menatap lekat-lekat pada mata Kekasih. Ia menemukan sepasang mata balam dengan sinar yang hilang. Ia mendekat, lebih dekat, dan lekat. “Tak salah lagi! Di mana putriku, He?” Janda berteriak keras sekali. Suaranya menggema ke seisi balai. Lingkaran melebar, orang-orang agak menjauh. Takut jika tiba-tiba Janda mengamuk dan menerkam mereka.
“Ampun, Janda. Putrimu tertinggal di rimba. Ia dimakan Dewa Perempuan.” Kekasih semakin kuat sujudnya, ia mencium kaki Janda.
Janda kembali menangis. Darah di tangannya semakin deras. Orang-orang bubar, mereka buru-buru ke dukun, meminta petunjuk atas kejadian yang menimpa kampungnya.
Di balai, Kekasih mematung dalam sujudnya kepada Janda.
Menjadi dukun di kampung tidak gampang, kau setidaknya harus hapal ayat-ayat di kitab. Karena, selera orang-orang kampung ini lain, mereka mendudukkan dukun sebagai tukang baca ayat-ayat.
Setelah menghafal ayat, kau akan dijadikan Tuhan ke dua oleh mereka. Percayalah, selepas itu, uang tidak akan berhenti mengalir kepadamu.
Dukun membaca ayat-ayat, lalu bernarasi dengan nada seperti orang dicekik.
“Ah, tidak. Tidak! Ada sepasang kekasih bermesraan di rimba. Mereka berpagutan, bericuman, lalu menjadi satu. Mereka tidak tahu, di rimba itu, ada sepasang mata dewa yang cemburu. Dewa Perempuan! Ya, ya!”
Kalian tahu? Dewa Perempuan itu mulai rusuh. Disuruhnya daun-daun di rimba bergesekan menimbulkan suara gaduh. Lalu, pelan-pelan, ia mengirim doa jahat kepada sepasang kekasih. Mereka tertidur. Dan, Dewa Perempuan membawa lari satu di antara mereka.
Sebentar-sebentar, aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang dibawa lari oleh Dewa Perempuan itu.” Dukun mulai terbatuk-batuk. Salah satu dari penduduk kampung menyuguhinya minuman.
“Oh, si wanita rupanya. Dari balik cengkeraman Dewa Perempuan, aku melihat kerudung putih terjulai.”
“Lalu ke mana perginya si lelaki, Dukun?” seorang bujangan dengan nada ingin tahu meracau tanpa izin.
Dukun geram imajinasinya dilangkahi. “Lelaki kembali ke rumahnya. Ia tidak mengurusi perempuannya lagi.” Dukun menyelesaikan narasinya.
Orang-orang kampung pintar sekali membuat kegaduhan. Usai dari rumah Dukun, mereka kembali ke balai. Mereka merasa sudah cukup mendapat bantuan dari Dukun.
Di sana, Janda dan Kekasih mematung. Suara tangisan Janda sudah tidak terdengar. Seorang lelaki yang tadinya bertanya kepada Dukun mengambil posisi berdiri di depan Janda.
“Anakmu diculik Dewa Perempuan. Kekasih tololnya ini, tidak menghalangi Dewa Perempuan ketika ingin menculik anakmu. Mereka dalam persetubuhan yang hina.”
Kekasih berdiri, ditatapnya dalam-dalam manik mata laki-laki yang berdiri di hadapan Janda.
Tiba-tiba dari dalam balai yang sedari tadi hening, keluar seorang lelaki dan perempuan dengan sarung menutupi belahan dadanya. Bulu-bulu pada sekujur tubuh Kekasih hilang, ia tidak lagi kerdil. Diumpatnya perempuan dengan sarung di dada itu.
“Aku mencarimu hampir gila, Sundal.”
Sleman, 28 Januari 2014

MELAMAR KUTUKAN


BUDIMAN diam-diam merobek jarit batik milik Seruni. Disimpannya sobekan itu di bawah bantal. Sebelum tidur, ia berkali-kali menciumi sobekan itu, lalu menggunakannya untuk mengelap keringat di dahinya. Sikap Budiman membuat Dermawan heran. Baru kali ini bapaknya itu bertingkah aneh.
Setiap pagi, Budiman berangkat ke pasar untuk mengantarkan sebakul kacang panjang. Ia memetiknya di kebun milik Rupawan, suami Seruni. Budiman adalah buruh kesayangan Rupawan. Ia berkali-kali diberi bonus tiap akhir bulan. Ia juga selalu dibiarkan makan sepuasnya di meja makan Rupawan. Kebaikan hati Rupawan membuat urat malu Budiman mengendur. Ia semakin lantas angan.
Ketika Rupawan buru-buru meninggalkan meja makan untuk berangkat kerja, ia acap berlama-lama duduk menguasai meja makan milik tuannya itu. Ia tidak segan-segan mengambil, bahkan menghabiskan segala macam hidangan yang tersedia. Dan, ia juga mulai mencoba-coba melirik Seruni. Seringkali disenggolnya telapak tangan Seruni ketika hendak mengambil lauk di hadapannya. Dan, malangnya, Seruni malah kian menjadi-jadi. Ia menunjukkan ekspresi malu-malu yang menjijikkan. Budiman makin lupa diri. Kali ini, ia berani menyenggol paha Seruni dengan pahanya.
Suatu hari, pada malam Jumat kliwon, Rupawan menitipkan rumahnya (dan istrinya) pada Budiman. Ia hendak ke kota menjemput bibit tanaman di tempat langganannya. Seruni merajuk minta dibawa, ia hendak pula sesekali merasakan nikmatnya berkeliling di kota. Dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit, bias cahaya lampu-lampu oranye pada malam hari, ia hendak mengambil potret diri lalu memamerkannya pada istri-istri lain di kampung. Menyadari istrinya sudah salah niat, Rupawan menolak. Ia bersikeras akan pulang lebih awal. Ia berjanji akan datang ke kota mengambil bibit saja, lalu buru-buru pulang kepada Seruni.
Seruni diam. Ia mengumpat suaminya dari dalam hati.
***
Memang dasar Budiman tidak tahu diri, baru saja Rupawan melangkahkan kaki dari rumah, ia sudah mengintip dari balik pagar. Begitu Rupawan menaiki delman menuju terminal, ia sudah tiba di ruang depan.
“Ini pukul satu malam, Man.” Seruni membawakannya secangkir kopi pekat dan semangkuk ubi rebus.
“Memangnya kenapa jika pukul satu malam? Bukankah pada tengah malam kau terlihat semakin cantik dan menggairahkan?” Budiman mulai berseloroh nakal. Ia meneguk kopi lalu melirik kepada Seruni yang mulai salah tingkah.
“Ah, kau ini. Baru saja suamiku pergi, kau sudah nakal.”
“Jangankan ketika suamimu pergi, suamimu di sini saja... aku memang sudah nakal.” Budiman sudah tak berhambat, dirangkulnya pinggang Seruni lalu didudukkannya di atas pangkuannya. Ia menciumi bahu Seruni dari balik punggung.
“Oh, beginilah rupanya bau perempuan ayu yang baru ditinggal suaminya beberapa menit.”
***
Pagi-pagi sekali, Budiman heboh di rumahnya. Ia menendang Dermawan yang masih nyenyak tidurnya. “Hei, kau mencuri sobekan jarit batik Seruni dari bawah bantalku?”
Dermawan terbit pula murkanya. Dihantamnya perut Budiman, lalu berteriak di depan mukanya. “Apa urusanku dengan jarit batik Seruni-mu itu.”
Budiman kesakitan. Hantaman Dermawan pada perutnya membuatnya ingin muntah-muntah.
Ia tidak ke kebun. Dari rumahnya, ia berjalan lemah ke rumah Rupawan. Di sana, ia menghadap Rupawan dan berkeluhkesah atas sakit di perutnya. Rupawan merasa kasihan sekali, dicarikannya obat lalu dibawakannya makanan untuk Budiman. Ia juga menyuruh Seruni menemani Budiman lantaran ingin mengambil kacang panjang sebentar. Ia takut kalau-kalau sakit perut Budiman semakin parah.
“Mengapa Dermawan melawan kepadamu, Man?” Seruni mengaduk bubur hangat yang disiapkannya untuk Budiman.
“Aku menuduhnya mengambil sobekan jarit batik milikmu yang kusimpan di bawah bantalku.”
Budiman lupa satu hal. Kepada dukun tempat ia bertapa, ia dilarang memberitahu Seruni tentang sobekan jarit batik Seruni yang dicurinya.
Seruni seakan menjadi singa hutan. Ia melemparkan bubur di hadapannya ke arah Budiman. Budiman terperanjat. Ingin sekali ditariknya kata-katanya agar tak pupus cinta Seruni kepadanya.
Budiman mencoba merayu seperti yang sudah-sudah, dengan perut yang masih perih bekas hantaman anaknya, ia mengelus bahu Seruni.
Seruni menepis, ditinggalkannya Budiman lalu berlari ke kebun menemui suaminya. Ia terisak, ia seperti disadarkan. Ia bersujud kepada suaminya, dilontarkannya segala ulah Budiman atasnya.
Memang dasar Rupawan si baik hati, tidak peduli dengan berlimpahnya hartanya, tampan mukanya, ia berjalan tenang ke rumah. Ditemuinya Budiman baik-baik. Lalu ditanyakannya keadaan perut Budiman.
Budiman menduga Rupawan akan memakinya, lalu memecat atau menjadikannya penjahat kampung. Budiman sembah sujud kepada Rupawan. Ia pura-pura menyesal, dan mengeluarkan sumpah-sumpah yang sebenarnya palsu.
Rupawan tersenyum santai. Dari balik saku celananya, dikeluarkannya pula sesobek jarit batik.
Budiman terperangah. “Hei, dari mana kau dapatkan sobekan jarit batik istriku?” ia melotot menghadap ke Rupawan.
“Kita impas. Aku sudah terlebih dahulu memohonkan kutukan  atas istrimu.” Rupawan terkekeh, ia semakin tampan.
Sleman, 31 Januari 2014

MEMBELI TANAH RAJA



Mereka dikerumuni orang-orang yang minta foto bersama. Dengan modal dua botol bedak bayi, seplastik gincu ala moler, dan beberapa meter kain vuring mereka berpose di sana. Ada yang mukanya dibuat menyerupai kuntilanak. Lain lagi, ada vuring yang diikat seperti pocong. Ya, tentu mereka berlagak hanya seperti hantu-hantu Indonesia. Setelah kutanya, “Biar cinta tanah air,akunya.
Coba kau alihkan pandangan 45 derajat dari sekumpulan makhluk nyata yang berpura-pura halus tadi. Di sana, segerombolan, mungkin jika mereka kecil-kecil bisa kusebut sebakul, mahasiswa sedang menampilkan tarian Aceh. Dari bisik-bisik penonton, kuketahui mereka bisa menari berbagai macam tarian: saman, liko’ pulo, ratoeh, atau apalah itu. Mereka memakai songket, lalu menjinjing kotak berlilit songket juga. Di samping tikar tempat duduknya, kulihat sebuah banner bertuliskan “Diplomasi Budaya melalui Duta Seni Mahasiswa”. Ah, aku tak tau itu maknanya apa. Berat, Bung!
Aku suka menyaksikan mahasiswa-mahasiswa itu. Pada setiap malam selepas magrib, aku sudah duduk di trotoar, hanya beberapa meter dari tempat langganan mereka. Jikalau mereka datang, aku buru-buru mendekat. Kubeli sebatang rokok pada ibu-ibu yang menjajakannya pada mahasiswa itu, lalu kulirik mereka satu-satu. Aduhai, cantik dan tampan!
Tidak berhenti di sana, aku tak pernah alpa mengambil potret mereka. Biasanya, mereka menggunakan baju dengan warna selaras. Merah, putih, hitam, dan oh ya, ungu! Mereka kian menarik dengan seragamnya yang sebenarnya tidak seragam.
Pada minggu-minggu berikutnya, aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya. Pertanyaanku sederhana saja, aku menanyakan makna tarian yang mereka bawakan. Pertanyaanku dijawab enteng oleh masing-masing anggota. Rasa ingin tahuku bagi mereka tampak menjijikkan. Mereka tertawa kecut beberapa detik dulu sebelum menjawab tanyaku. Aku geram. Aku memutuskan untuk berhenti bertanya dan tidak memedulikan mereka lagi.
Benar saja, besok malam, aku bertahan duduk di trotoar favoritku. Aku tidak mendekat pada penari-penari angkuh itu. Aku hanya melihat mereka dari jauh. Binar mata mereka dusta. Mereka menipu penonton dengan muka girang dan senyum terhebatnya. Mereka menjadikan orang-orang yang melihat terpaksa, atau barangkali ikhlas mengisi kotak berlilit songketnya. Mereka membuat penonton-penonton takjub. Padahal, di dalam diri mereka masing-masing, kuyakin mereka saling menghina penonton-penonton dungu yang mau menghabiskan waktu (dan memberikan uang) menyaksikan penampilan mereka.
Sejenak aku memutar mata. Aku kaget. Duh! Ke mana larinya patung emas dengan kaki mengangkang khas paha kekar seorang bujangan? Biasanya, dari arah tempat penari berlagak, kau geser pandangan sedikit ke selatan. Di situlah! Ya, di situ! Tepat! Tepat di situ! Biasanya ada sebuah patung emas yang konon dihibahkan raja dari pulau seberang.
Malam ini patung itu hilang, dan orang-orang diam saja. Aku tidak melihat seorang pun, bahkan setengah orang pun, atau seperempat orang pun yang kasak-kusuk mencari di mana patung itu berada sekarang. Mereka masih saja tertawa-tawa.
Tidak ada yang peduli.
Mungkin, jika bangunan kuno megah yang berdiri di sudut kiri perempatan itu juga hilang, mereka bakal tetap tertawa-tawa. Mereka sudah terlalu bahagia. Bahkan, ketika kehilangan, mereka bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Mereka lupa cara bersedih. Bayangkan! Bayangkan, Bung! Cara bersedih saja mereka tidak tahu, bagaimana cara mereka mencuci kakus? Ah... atau jangan-jangan mereka punya staf khusus yang menangani masalah kakus mereka? Tapi bagaimana jika staf khusus itu juga sama seperti mereka. Sama, lupa cara bersedih dan bagaimana mencuci kakus. Apa mereka mencari orang lain? Orang lain di luar kerajaan mereka yang setiap harinya dekat dengan kesedihan. Barangkali kerajaan tetangga, Kerajaan Lupa Bahagia.
Aku mengambil penerang di tasku. Kuarahkan senter kecilku ke bawah. Malam ini juga, aku akan mencari patung emas itu. Sebelum ayam berkokok dan matahari sampai, aku harus sudah membawanya dan mengacungkannya pada pihak berwajib. Aku akan dipuji sebagai pahlawan yang sangat berjasa. Namaku akan tertera di surat-surat kabar. Aku akan dikenal seluruh rakyat. Barangkali, aku juga dipinang raja menjadi menantunya. Dan, penari-penari merasa menyesal pernah merendahkanku. Mereka buru-buru mencariku dan meminta maaf, lalu aku akan kembali menghina mereka. Barulah, aku akan hidup tentram dan bahagia. Ah! Akhirnya aku menemukan cara berbahagia.
Sudah hampir sepertiga malam, senterku tidak berhasil menyoroti patung emas khas paha kekar seorang bujangan. Bodohnya, nyala lampu senterku meredup. Sesekali ia berkedip, lalu mati. Kudiamkan beberapa saat lalu kunyalakan lagi, ia berkedip dan mati lagi. Kudiamkan beberapa saat, lalu kunyalakan lagi. Sama saja, ia berkedip dan mati. Kudiamkan lagi, kali ini agak lama. Dan, ia tak mau nyala lagi. Kulempar senterku ke arah selokan di kanan jalan. Bunyinya dahsyat! Barangkali berbenturan dengan dinding semen di dasar selokan.
Aku mengumpat kebodohan pembuat senter. Ingin rasanya aku meminjam mikrofon para pendemo, lalu berteriak pada semua orang di sini untuk membantuku mencari patung yang hilang. Oh, aku lupa menarasikan para pendemo. Pendemo-pendemo itu, Bung... seperti kurang kerjaan. Dipakainya uang jajan dari mak bapaknya untuk membeli sebuah poster bergambar raja kita. Kemudian, beramai-ramai, di depan gedung kuno megah itu, dibakarnya poster itu. Apa tidak bodoh, Bung? Sama saja mereka membakar duit dari bapak dan maknya. Ingin kutatar mereka tentang susahnya mencari duit. Tapi aku tak sanggup. Aku hanya pernah sekali mendekati seorang pendemo. Kutanyakan alasannya mengapa mau membakar duit dari mak bapaknya. Belum kuapa-apakan, Sumpah! Belum kumarahi dia sudah menangis. Seorang gadis berkerudung merah yang tadinya adalah provokator demo paling keren menurutku itu tiba-tiba saja menjadi kecut hatinya. Ia terisak di hadapanku. Katanya, bapaknya masih mencari kayu dan makanan di hutan, dan maknya masak dengan tungku dari kayu-kayu itu. Aku terkekeh. Bodohnya, bodohnya. Entah, entah siapa yang sedang berada dalam kebenaran. Cerita tentang mak dan bapak si pendemo yang masih mencari kayu di hutan, atau seorang penanya cerdas yang enggan percaya ini.
Malam ini pendemo-pendemo itu tidak muncul lagi. Barangkali, gadis yang kusapa kemarin tersadar dan melarang pasukannya berdemo. Aku sedikit lega pada mereka, masih punya hati nurani rupanya. Masih bisa diingatkan, masih bisa mendengar ucapan orang lain, masih menghargai orang lain. Ah! Kau pancing aku bicara tentang harga-menghargai, Bung! Ingatanku kembali pada penari-penari angkuh itu. Semakin hari, kebencianku kepada penari-penari yang seharusnya sudah kulupakan semakin menjadi-jadi. Aku sudah mencari-cari perhatian baru. Tapi tetap saja, setelah kerjaku pada perhatian baru usai, aku akan mengingat penari-penari itu.
Lebih baik aku pulang saja. Ini sudah hampir pagi. Barangkali, aku bisa menunda kebencianku hingga besok hari.
***
Matahari sampai, kututurkan sebuah sumpah. Nanti malam, aku akan datang menyaksikan penari-penari itu, lalu akan kupermalukan mereka di depan para penonton. Entah dengan cara apa, aku belum memikirkannya sedetail itu. Masih ada 12 jam sebelum aku beraksi, masih panjang. Akalku masih bisa bekerja keras. Mungkin, begitulah caraku berbahagia, Bung. Jika kau tidak suka dan barangkali kau adalah salah satu penonton di sana nanti, kau bisa memprotesku. Atau, kau bawa saja golok dan langsung membunuhku.
Aku sudah di lokasi. Penonton sudah memenuhi selasar tempat penari akan beraksi. Mereka menyaksikan seorang penari dengan muka girang, rambut keriting, matanya sipit, dan hidungnya mancung ke dalam sedang berorasi membelakangi teman-temannya. Ia menyampaikan misi budayanya (yang sampai saat ini aku belum bisa memahaminya) kepada para penonton. Suaranya lantang, membelah malam yang agak hening ini. Aku ikut-ikutan terpana, penari-penari itu, juga pintar akting ternyata. Serupa polos saja raut wajah mereka yang berhati kasar itu.
Riuh tepuk tangan penonton usai si penari keriting berorasi. Satu per satu dari mereka mulai merogoh dompet, mengambil selembar seratus ribuan, lalu saling pamer memasukkannya ke dalam kotak berlilit songket milik penari dengan terlebih dahulu mengangkat uang itu setinggi-tingginya. Aku mengeluarkan pecahan terbesar mata uang kerajaan kita. Kira-kira begitulah redaksi kata-katanya.
Penari mulai berlagak. Aku semakin iri hati. Mereka membuat penonton kian terpesona. Gerakan tegas mereka dalam setiap tarian, memunculkan ketakutan dalam hatiku. Aku takut, jikalau aku tetap tidak bahagia setelah membuat mereka bersedih. Aku takut, jikalau tidak menemukan titik temu antara kesedihan orang lain dengan kebahagiaanku. Dan, aku takut, kalau aku salah mengambil rencana.
“Bubar! Bubar!” Dua orang satpam berseragam hitam dengan sebatang tongkat bercahaya di tangannya. Mereka mencak-mencak di hadapan penari. Dimintanya surat izin pemakaian tempat untuk menampilkan tarian di sana. Katanya, tanah ini milik kerajaan. Dan, setiap pemakai harus punya surat izin resmi dari kerajaan.
Aku ternganga.
Begitulah, Bung! Begitu sulitnya hidup di kuasa kerajaan ini. Untuk meminta uang tidak kepada raja saja, kau harus dapat persetujuan resmi dulu dari sang raja. Aku terkekeh. Mampus!
Taman Rektorat UGM, 24 Januari 2014

SILUMAN HARIMAU




MENJELANG tengah malam, orang-orang sudah terkapar. Raga mulai beraksi. Ia menginjit berjalan ke dalam hutan. Tak lupa, dibawanya sebilah parang untuk memberi tanda berbentuk lingkaran. Hutan selalu gelap pada malam hari. Beberapa kali Pemerintah Kota sudah mencoba memasang penerangan di sini, tapi tak ada yang berhasil.
Orang suruhan mereka, yang dibayar berlipat-lipat banyaknya untuk memasang listrik, pasti pulang dengan bersimbah darah di tubuhnya. Istri-istrinya histeris, mereka menghujat Pemerintah Kota. Sejak itulah, hutan selalu gelap, dan akan gelap sampai habis waktu.
Tidak seperti perangai penduduk kampung, Raga selalu terjaga pada setiap malam. Barangkali ia tidur siang? Oh, tidak juga. Ia hanya tertidur di dalam jiwanya, itu pun pada pergantian hari ketika langit berubah warna dari terang menjadi kelabu. Jikalau tidak turun hujan, tentu jiwanya juga tidak pernah tidur.
Raga mengasah parangnya, diayunkannya pada tanah hutan dengan rumput-rumput berduri. Ia mengukir garis putus-putus berbentuk lingkaran. Lingkaran sempurna.
Raga masuk ke dalam lingkaran. Kakinya membentuk posisi kuda-kuda, tangannya diayunkannya berkali-kali, menendang-nendang, seperti sedang bergelut dengan harimau. Raga selalu berputar di dalam lingkarannya, ia memang sudah ahli. Ah, bukan begitu sebenarnya... Raga hanya takut untuk keluar dari dalam medan kekuatannya, ia takut ditelan harimau dalam perkelahiannya.
Raga tidak pernah sekali pun berjumpa siluman harimau dalam wujud sebenarnya. Ia merasa belum sanggup. Ia takut mati konyol di dalam hutan dengan simbahan darah di dadanya. Nanti, pastilah surat kabar-surat kabar di kota membuat berita berlebihan atasnya, dan kampungnya akan menjadi objek wisata baru. Objek wisata siluman harimau. Raga tidak menginginkan hal itu terjadi, ia mengasihani penduduk kampungnya. Jikalau ada pendatang lagi, hendak ke mana akan diinapkan penduduk kampung itu? Jumlahnya sudah melebihi batas wajar. Lihat saja, di masing-masing rumah, satu kamar dengan ukuran 2,5x3 m dihuni oleh enam orang. Suami-istri di kampung ini memang senang membuat anak.
Menjelang matahari naik ke peraduan, Raga bergegas mengganti baju hitamnya. Ia pulang dengan dada polos dan parang yang terkebat di pinggangnya. Ia juga tidak lupa menghapus garis putus-putus ukirannya.
Raga naik lewat jendela di rumah gadang. Ia mengaitkan sebuah tali, lalu dengan sangat sigap melayang dan meraih jendela yang agak tinggi itu. Dirapatkannya pelan-pelan agar kelima orang adiknya tidak terbangun. Lalu, ia mengambil kitab-kitabnya dan mulai larut dalam kekhusyukan.
***
Pemerintah Kota sedang ricuh. Beberapa bulan lagi, akan ada kunjungan dari Pemerintah Pusat. Pada laporan-laporan kerjanya di tahun-tahun yang sudah-sudah, Pemerintah Kota dengan sangat mudah memanipulasi data. Mereka melakukan pembohongan besar-besaran. Mereka meyakini satu hal: kampungnya tidak terjamah.
Lain raja lain titahnya. Begitulah, pemimpin pusat yang baru ini, orangnya suka bertualang. Ia diakui sebagai orang jujur oleh rekan-rekannya sesama manusia ataupun makhluk halus. Orang-orang segan kepadanya. Orang-orang mulai takut melakukan kejahatan. Orang-orang mulai mencari jalan membersihkan diri sebelum benar-benar bertobat.
Pemimpin pusat ini, mengumumkan kepada setiap daerah tentang kunjungannya pada setiap akhir bulan. Ia ingin sekali menyapa rakyatnya di setiap negeri, tidak terkecuali kampung di mana Raga terlahir dan besar. Kampung yang pemerintah kotanya agak bangsat, otaknya hanya berisikan uang, uang, dan jabatan. Atau, jikalau sedikit lebih manusiawi, membantu orang untuk mendapatkan dukungan suara.
Ada satu hal yang memberatkan pemerintah kota. Pada setiap promosinya untuk memohon dana ke Pemerintah Pusat, mereka menjual isu penerangan. Lima tahun yang lalu, dilaporkannya kegelapan tentang kampung, dan tahun kemarin, mereka mengaku sekarang kampungnya sudah terang benderang. Dana dari pemerintah pusat benar-benar membantu mereka.
Lihatlah, di kampung itu, di dalam hutan yang letaknya sangat dekat sekali, tidak pernah kau temukan cahaya pada malam hari. Sudah kubilang, tidak satu pun pekerja yang sanggup memasang penerang di sana. Mereka selalu pulang dengan kematian. Mereka selalu pulang dengan mengerikan.
Pemerintah Kota mulai melakukan sayembara-sayembara. Tapi nihil. Masyarakat kampung mengacuhkan semua iming-iming hadiah. Mereka lebih memilih tidur bersempit-sempit dengan anak bininya daripada harus menjemput kematian, bertemu dengan siluman harimau di dalam hutan.
Raga selalu berbeda. Disimpannya lembaran sayembara untuk direnung-renungkannya lagi. Raga ingin sekali membantu Pemerintah Kota. Barangkali, setelah ia rela berkorban, ayahnya akan diberikan rumah mewah dengan kamar berjumlah tiga belas orang, sesuai dengan banyaknya orang di rumahnya saat ini. Betapa mewah. Raga mendesah. Keringatnya menguat, dadanya sesak.
Isu tentang keberanian Raga menyebar ke seantero kampung. Ayahnya diingatkan oleh sesepuh kampung agar melarang Raga meneruskan keberaniannya. Pun ibunya, di setiap pengajian pada akhir pekan, ibunya disuruh untuk membujuk Raga agar membatalkan niatnya. Raga semakin risau. Niatnya tidak disokong kedua orangtuanya.
Hari berkunjung semakin dekat, dan Raga belum mengambil keputusan. Ia terlambat.
***
Setelah nasi menjadi bubur, tak ada yang dapat dilakukan lagi. Jika kau mencoca-coba menambahkan garam pada bubur, kau harus bersiap untuk lebih hancur. Pemerintah Kota sudah pasrah, dibiarkannya Pemimpin Pusat datang dan mencela. Mereka menyerahkan segenap diri atas kesalahannya di masa lalu. Salah yang bertahun-tahun lamanya, salah yang menyengsarakan keluarga-keluarga dan turunannya.
***
Pemimpin pusat geram. Ia tiba di kampung dengan membawa sepaket penghargaan untuk kampung Raga. Dari laporan-laporan yang ia terima, kampung itulah yang paling baik penerangannya. Ia ingin menjadikan kampung itu teladan kampung lainnya.
Pemimpin Pusat menampar Pemimpin Kota. Untuk pertama kalinya, pemimpin pusat yang jujur dan santun itu berbuat demikian di hadapan masyarakatnya. Ia seperti dirasuki iblis. Semua piala di genggamannya dihempaskan hingga menjadi kepingan. Orang-orang tidak berani berkata-kata, mereka takut jadi sasaran amuk Pemimpin Pusat.
Amuk belum berhenti, saat itu juga Pemimpin Pusat mengukuhkan hukuman mati untuk pekerja negara yang berdusta. Orang-orang semakin ngeri, baru kali ini ada pemimpin seberani ini.
Pemimpin Kota dibawa ke sebuah lahan di pinggir kampung. Kedua tangannya diikat serupa salib. Orang-orang mengelilinya dengan tatapan iba dan jijik. Mereka menyumpahi, tapi ada juga yang mendoakan.
Pemimpin pusat tidak sedikit pun terlihat iba, di keningnya, masih terlihat kerutan pertanda kemarahan yang garang. Ia mengambil minyak tanah dalam wadah kecil, lalu menyiramkannya kepada pemimpin kota. Dari ujung rambut, perlahan jatuh ke ujung kaki. Pemimpin Kota seperti sedang dimandikan air kembang.
Pemandian minyak tanah usai, Pemimpin Pusat menyulut korek api dari dalam saku celananya. Tanpa hitungan, ia melemparkannya pada muka Pemimpin Kota. Masyarakat berteriak, mereka menutup muka, api berkobar dengan sangat gagah.
Pemimpin Kota menjadi abu.
Dari pinggir hutan, seorang ibu berteriak histeris. Ia menggeret mayat laki-laki dengan simbahan darah di dadanya. Di pinggang lelaki itu terikat sebuah parang.
“Siluman harimau membenci orang-orang yang datang ke hutan tatkala di kampungnya sedang berlangsung upacara kematian.”
Sleman, 31 Januari 2014