Selasa, 24 Juni 2014

BERDOA DI GEREJA ROCHE LA MOLLIERE



---part 2---

Suhu dingin pada awal Juni di tengah kota Roche La Molliere, Prancis tidak menyurutkan semangat kontingen berbagai negara yang akan menggelar doa bersama. Meksiko, Prancis, Mongolia, Rusia, dan Indonesia mengirim sepasang utusan dengan pakaian adat khas negara masing-masing untuk berjalan di altar gereja. Utusan Indonesia mengenakan baju adat khas Sunda berwarna merah marun dibalut dengan penutup kaki bercorak batik khas Yogyakarta. Setelah semua jemaat hadir, pintu gereja ditutup dan kelima pasangan berjalan di altar diiringi dengan nyanyian syahdu ala gereja.
Indonesia, sebagai satu-satunya kontingen yang mengenakan kostum adat yang sekaligus bercirikan identitas agamanya, yakni kerudung, turut menyampaikan doa di hadapan para jemaat menggunakan bahasa Arab. Doa ini dibacakan oleh Yulian Prasetya, pria pendiam yang digaet Rampoe UGM sebagai fotografer tim selama mengikuti Festival Mondial De Folklore di Belgia dan Festival Festiroche—Roche La Molliere, Prancis. Doa berbahasa Arab tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh seorang pria muslim asal Maroko yang merupakan pendamping tim Rampoe UGM. Menurut pengakuan si pria, setelah ritual dibubarkan, banyak jemaat yang datang menemui beliau untuk memberitahukan bahwa doa yang dibacakan kontingen Indonesia sangat indah. Mereka sangat ingin tahu terhadap doa yang disampaikan tersebut.
Rampoe UGM sebagai perwakilan Indonesia dalam acara ini merupakan sebuah tim tari yang fokus mengembangkan tarian Aceh dan berada di bawah Departemen Minat dan Bakat Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM. Akan tetapi, partisipan dalam kegiatan kali ini berasal dari berbagai jurusan dan fakultas di UGM. Hal ini membuktikan bahwa dalam mengemban misi komunitasnya, Rampoe UGM membuka diri terhadap partisipan yang berminat dari luar. Jadi tidak salah jika selama 2—11 Juni 2014 di Belgia dan Prancis, kontingen Indonesia ini terkenal dengan toleransi, keramah-tamahan dan keunikan budayanya.
  Dalam pelaksanaan ibadah besar yang rutin dilaksanakan setiap tahun di gereja ini, ada dua poin penting yang dapat dijadikan pelajaran. Pertama mengenai toleransi beragama. Meski gereja identik dengan tempat ibadah umat kristiani, semua peserta yang sedang mengikuti Festival Festiroche—Roche La Molliere ini bersedia mengikuti agenda yang telah ditetapkan panitia. Islam, Katolik, Kristen, bahkan penganut Ateis sekalipun berbaur menjadi satu, berdoa sesuai dengan bahasa mereka masing-masing pula, dengan satu tujuan, kebaikan untuk seluruh umat di dunia.
Selanjutnya, keteguhan hati terhadap kepercayaan masing-masing. Setelah toleransi, ada hal-hal yang sudah tidak dapat diganggu gugat, misalnya, dalam proses pelaksanaan ritual, ketika pastur memberikan roti tanpa ragi kepada setiap jemaat, kontingen muslim Indonesia tidak ikut serta memakannya. Hal ini dipesankan oleh pendamping tim kepada leader Rampoe UGM. Meski begitu, proses beribadah umat kristiani tersebut berjalan dengan lancar dan khidmat. Ditambah lagi selama berjalannya kegiatan ibadah, tidak seorang pun diperkenankan mengambil potret atau menyalakan gadget. Hal ini serupa dengan peraturan di tempat beribadah umat muslim, ponsel dan gadget lainnya dianjurkan dalam keadaan mati atau silent.
 Beribadah di gereja menjadi pengalaman tersendiri bagi seorang muslim. Setelah kembali ke lokasi festival, terjadi diskusi serius antarkontingen mengenai ritual yang baru mereka saksikan. Pengalaman yang jarang terjadi ini memberikan kekuatan tersendiri dalam diri setiap kontingen untuk lebih menghargai antarumat beragama.
Usai kegiatan, setiap peserta dikembalikan ke host-family masing-masing. St. Etienne, sebagai kota besar tempat berdiam diri Marc Faurend dan keluarganya sudah memanggil untuk segera pulang. Sepaket makanan ala benua biru itu sudah disiapkan Odille (mama) di meja makan: pizza, ayam, karamel, dan beberapa gelas minuman bersoda sudah meminta untuk segera disantap. Sembari makan, muncul lagi diskusi mengenai toleransi budaya, toleransi agama, dan berbagai bentuk toleransi lainnya. Sambil menunjukkan sebuah peta Eropa, Marc menggambarkan tentang kota Paris yang menjadi pusat kota di Prancis. Kemudian, ia mengambil peta dunia dan meminta untuk ditunjukkan Indonesia, Yogyakarta, dan Aceh sebagai daerah asal tarian yang dibawakan Rampoe UGM. Marc menggeleng-gelengkan kepala ketika diberitahu bahwa dari Indonesia ke Prancis dibutuhkan waktu terbang kurang lebih 17 jam dan, ia serta keluarga sangat ingin datang ke Indonesia dalam waktu dekat.
Waktu kepulangan semakin dekat, hingga tidak terasa kontingen Rampoe UGM harus terbang dari Schipol, Amsterdam menuju Bandara Soekarno Hatta. Seberkas dokumentasi sudah disimpan di tangan, beragam memori tentang keindahan langit Eropa juga sudah ditata rapi di ingatan, dan pelajaran-pelajaran yang didapat sudah siap diamalkan. Selamat datang kembali Indonesia, tanah air yang kaya akan alam dan budayanya, semoga dapat ambil bagian dalam perdamaian dan kemaslahatan umat seluruh dunia, meski hanya dalam sebait doa di gereja pada waktu lalu. 

---bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar