Kamis, 22 Mei 2014

Pelepasan LE; Kisah Cinta yang Berangkat dan yang Memberangkatkan

Tenang saja, ini bukan tulisan pencitraan untuk media massa. Hehe. Selamat membaca!
22 Mei 2014, tidak terasa sudah 8 bulan kami berproses dalam satu misi: Langit Eropa! Atau.. dalam bahasa kerennya Diplomasi Budaya melalui Duta Seni Mahasiswa. Barangkali, jika sudah membaca postinganku beberapa bulan yang lalu, sudah tahu apa itu LE, sudah tahu bagaimana lika-liku LE. Jika belum, akan saya sampaikan kembali, secara ringkas, seingatnya, seadanya.
LE merupakan sebuah kepanitiaan yang dibentuk oleh Rampoe UGM, komunitas tari yang berada di bawah Departemen Minat dan Bakat Jurusan Sastra Asia Barat FIB UGM. Kepanitiaan ini (lebih tepatnya disebut keluarga) mengusung satu misi seperti yang saya sebutkan di atas DBMDSM. Apa latar belakang dan dimunculkannya misi ‘berat’ itu? Sependek yang saya tahu, Rampoe UGM mendapatkan undangan untuk mengikuti Festival Mondial de Folklore De La Ville De Saint—Ghistlan (Belgia) dan Festiroche—Roche La Moliere (Prancis), sehingga dibutuhkan 25 orang untuk diberangkatkan ke kedua festival tersebut. Siapa yang memberangkatkan? Tim!
Setelah kepanitiaan terbentuk, dimulailah peperangan oleh setiap prajurit. Tenang saja, antarprajurit tidak saling perang, kita memerangi musuh. Siapa musuh kita! Uang senilai kurang lebih 400 juta, beberapa paket tarian untuk ditampilkan nonstop selama 15 hari, dan musuh-musuh kecil lainnya. Musuh-musuh ini diberitahukan setelah fiksasi panitia dilakukan, jadi, mau tidak mau, saya yang memilih bergabung dalam divisi sponsorship harus tersenyum masam dengan nominal yang dibutuhkan. Mengerikan! Di dalam divisi sponsorship, pada awalnya ada 5 orang, tetapi dalam perjalanannya satu orang anggota kami dialihkan ke divisi perkap, sehingga tersisalah Sirajuddin Lathif (Sastra Asia Barat 2012) sebagai koordinator, Lana Nurani Nan Suci (Matematika 2012), Nun Afra Farhanggi (Sosiologi 2012), dan saya sendiri (Sastra Indonesia 2012). Bayangkan, apa yang terjadi saat rapat khusus divisi? Keempat bocah yang seumuran ini, dengan isi kepala yang berbeda-beda dan keras hati yang hampir sama, harus menjalankan tugas yang bagi saya pribadi boleh dikatakan berat. Tidak jarang kita bentrok, ngambekan, marahan, main sinis-sinisan, diam-diaman, dan segala macam perangai bocah lainnya, tapi ketika sadar tugas belum selesai dan ada hal yang harus segera dituntaskan, semua ketololan-ketololan tadi akan sirna (sementara), lalu akan dilanjutkan di pertemuan-pertemuan berikutnya. Hehe. Tapi dari divisi ini, saya belajar bagaimana menghormati atasan, menerima dan menolak pendapat dengan etika yang benar, menyaksikan bagaimana tidak enaknya dibunuh dan dihujat di forum, menerima dan memberikan perhatian kepada orang-orang yang sudah seperti saudara sendiri, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Saya menemukan kecintaan terhadap kepanitiaan ini, kepanitiaan yang dibangun dengan rasa cinta kasih. Alay? Coba saja masuk, nikmati dan rasakan.
Singkat cerita, kami melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Dan, alhamdulillah, Tuhan memberikan kemudahan. (Semoga tidak salah saya menyebutkan nominal di sini, hanya berbagi pengalaman) dari DIKTI, kami mendapatkan bantuan dana sebesar 20 juta, Kemendikbud 100 juta, UGM 14 juta (kalau tidak salah), FIB 10 juta (untuk 2 kepanitiaan, LE dan FESCO), BNI 5 juta, Spesial Sambal 500 ribu, Bea Cukai 2 juta, Prof Suhardi 500 ribu, staedler 1,5 juta, KAGAMA 1 juta, potongan harga sekian persen dari Garuda Indonesia, seperangkat alat make up dari Wardah, jaket tim, tas rapai, dan tas ransel anggota dari Rumah Warna, kaos tim dari Jogist, tas selempang anggota, topi anggota, kaos anggota, USB anggota, dan pernak-pernik lainnya dari Dinas Kebudayaan Jakarta, kemudian untuk media partner kita menggaet Radio Kedaulatan Rakyat, Koran Kedaulatan Rakyat, dan SKM UGM Bulaksumur. Dan, singkat cerita lagi, alhamdulillah kita dapat melunasi kebutuhan keberangkatan khususnya tiket dengan bantuan pihak-pihak lainnya. Terima kasih, terima kasih sekali untuk yang rela berkorban demi keberangkatan ini.
Sekarang, sesinya saya mengucapkan terima kasih secara personal kepada orang-orang spesial ini.
 
Ayah & Mama: Untuk segala cinta dan dukungannya. *pelukcium*


 
 
Nuna: Terima kasih sudah sangat sabar atas ketidakpekaanku



Inong LE: Terima kasih atas kekompakan dan kemesraannya :*


Rabu, 07 Mei 2014

LE- 1



Cerita ini akan sangat panjang, dan, barangkali tidak berkesudahan. Selamat membaca, iyakan semua tuturanku, atau pergilah.

Aku tidak memulai kisah ini dari awal, aku terlambat menyadari, bahwasanya cerita ini teramat berharga untuk kulupakan begitu saja. Sekali lagi, dengarlah suguhan seadanya ini. Maaf, muqodimah lagi.

Setahun ini, semua benda di kepalaku tunduk pada satu destinasi: Eropa. Aku dengan sengaja menghilang di kelas perkuliahan, di rapat-rapat rutin organisasi dan kepanitiaan, karena aku bangsat dan tidak bertanggung jawab, lagi-lagi, yang ada di kepalaku adalah Eropa. Barangkali, jika aku adalah anak jenius dengan kemampuan bahasa Inggris memadai, maka untuk menuju Eropa, aku tidak perlu sehina ini, mengemis minta uang ke setiap lini perusahaan. Tapi tak mengapa, duduk di bawah langit Eropa akan hambar tanpa perjuangan. Sebelum kalian bosan, aku akan berhenti bernarasi tentang perjuangan-perjuangan, percayalah, perjuangan-perjuanganku hanyalah bualan, untuk melengkapi bualan-bualan lainnya tentang perjuangan pembual-pembual seprofesi. Aku hanya si bangsat yang pura-pura berjuang dan tersiksa.

Bagaimana jika kita beralih tentang tumbuhnya perasaan-perasaan dalam setiap perjumpaan. Dari dulu, dulu sekali, aku akan sangat takut menghadapi hari-hari seperti ini, aku akan takut bertemu dengan orang itu dan itu lagi, setiap hari, dalam jangka waktu yang lama, dengan intensitas pertemuan yang memakan lebih dari setengah jatah hariku. Aku takut, jika aku terbiasa, terbudaya, tergantung, atau apalah untuk bertemu dengan orang-orang itu. Aku takut ditinggalkan. Aku takut dipisahkan. Memang, ini berlebihan, tapi tidak bagiku. Aku akan sangat merindukan, sejadi-jadinya rindu. Setiap momen pertengkaran, kesalahpahaman, kemesraan, ketegangan, kericuhan, kekesalan, dan semangat-semangat yang kamu dan kalian tularkan. Aku belum kuat jika dalam beberapa bulan lagi, kita akan berhenti melakukan rutinitas-rutinitas ini. Pekerjaan yang kian hari menjadi pengisi hariku paling setia. Aku takut jika pertemuan-pertemuan kita pada masa selanjutnya menjadi hambar, tanpa tekanan dari siapa pun jua, tanpa masalah, dan tanpa kasih sayang. Jika benar, aku lebih memilih untuk meninggalkan, karena sekali lagi, aku takut ditinggalkan.
Perjuangan kita belum berakhir, di dalam kepala setiap kita, masih ada kebusukan-kebusukan yang pada waktunya nanti harus kita lepaskan, kita tuntaskan. Jika kau, atau kalian menderita dengan kebusukan-kebusukan serupa ini, bersabarlah, terkadang perlu menjadi jahat untuk mempercepat pertemuan dengan hal baik, begitu. Aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana sedih dan kesalnya aku melihat semua beban bertumpu di pundakmu, dan kau, dengan gayamu yang menyebalkan seakan bisa memikul segalanya. Jika kamu sedikit menurunkan gengsi dan pongahmu, akan banyak pundak-pundak lain yang akan berbagi denganmu, percayalah. Tapi tak apa, kuacungkan kedua jempolku untukmu, untuk segala usaha, kekerasan hati, dan perjuangan-perjuanganmu yang teramat berharga di dalam kepalaku, dan untuk segala kemurah-hatianmu kepada sesama makhluk Tuhan.

Ini baru bagian pembuka, akan kuselesaikan pada 22 Juni nanti. Semoga masih bisa bertemu dalam fananya kehidupan kota Jogja.