Jumat, 14 Maret 2014

BERLIAN DARI PEREMPUAN BELIAN

Mendayung-2014

Dik,
Aku ingin meminangmu dengan keperkasaan. Rumah-rumah mewah dan mobil mengkilat. Belasan pembantu rumah tangga akan melayani kita. Mereka akan menyuguhkan kita sepotong roti dengan selai cokelat Belgia dan susu murni pada setiap pagi. Malamnya, ketika kau mengantuk dan aku teragak menyentuh payudaramu, aku akan meminta bantuan salah satu dari mereka untuk membuka pengait bramu. Tanganku dan tanganmu sekalipun tidak akan bekerja, kita hanya memakai otak dan menghamburkan uang pada mereka-mereka yang membutuhkan.
Barangkali, jika kau ingin menimang anak, aku juga akan meminta bantuan salah satu dari mereka untuk mengandung dan melahirkan. Aku tidak akan membuat perutmu melebar dengan menyimpan buah hati kita selama sembilan bulan di dalamnya. Aku ingin merawatmu, dari rambut hingga ujung kaki. Aku ingin mengabadikan kecantikan gadismu.
Dik,
Kata orang-orang, kau adalah bidadari surga. Hanya Tuhanlah yang berhak meminangmu. Apakah aku harus menjadi Tuhan dulu agar bisa meluluhkan hatimu yang beku? Aku akan menjadi Tuhan, Dik. Aku akan menciptakan bumi, langit, dan segala isinya. Tapi bumi, langit, dan isinya ciptaanku agak sempit, Dik. Tentu kau tahu mengapa. Aku hanya menciptakannya untuk kita. Aku enggan berbagi bumi, langit, dan segala isinya pada orang-orang. Aku menjadi Tuhan, dan kau adalah istri Tuhan, dan ciptaanku adalah hamba-hamba yang akan memanjakan kita.
Aku akan membuat malam telanjang lebih lama. Ah, jangan pura-pura tidak tahu, Dik. Aku akan membawamu telanjang bersama malam. Aku dan kau akan menyatu, Tuhan, istrinya, dan makhluknya akan bertelanjang.
Dik,
Sudahkah kau bercerita tentang aku kepada Ayahmu? Aku dengar juga, Ayahmu itu berkumis tebal dan keningnya suka berkerut. Benarkah, Dik? Kau tahu, aku punya ketakutan yang agak berlebih kepada lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut, Dik.
Tapi tak mengapa, aku akan merayu ayahmu agar menjualmu kepadaku, Dik. Orang-orang dengan kumis tebal dan kening berkerut itu, jika dihadiahkan segudang emas, ia akan mencukur kumisnya dan meratakan keningnya. Aku tentu tidak takut lagi.
Jatuhlah kepadaku, Dik. Pada setiap akhir pekan, aku berjanji akan membawamu kepada lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut itu. Lalu, jika kau suruh aku membantumu mencuci kakinya dengan air garam, aku akan menurut, Dik. Aku akan ikut menggosok daki pada telapak kaki lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut itu dengan air garam yang agak keruh.
Nanti, ketika dakinya sudah bersih dan ia tertidur dalam kesucian, aku akan mencium bibirmu diam-diam sambil terus menggosok telapak kakinya. Dalam ciumanku, kubisikkan padamu bahwa telapak kaki lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut itu agak kecut. Tentu kau sudah tidak bisa marah kepadaku, Dik. Nanti, jika kau berteriak sedikit saja, lelaki yang telapak kakinya masih kugosok itu akan terbangun. Dan, ia menyuruhku menghentikan ciuman kepadamu.
Dik,
Apakah kau dilahirkan dari pohon-pohon tak beranting? Rautmu meneduhkan. Bibirmu yang merah dengan lekuk sempurna itu membuatku ingin mengecupnya tiba-tiba. Aku ingin memelukmu dari balik pohon tempat kau dilahirkan. Menyandarkanmu pada batangnya yang kokoh, lalu mengangkat kedua tanganmu ke atas. Membiarkanku memelukmu dalam suara gesekan dedaunan pada pohon-pohon lain.
Bagaimana caraku meminta izin kepada pohon-pohon untuk meminangmu? Apakah aku harus menanam seribu pohon untuk melahirkan Dik-dik lain sepertimu. Aku akan. Seribu pohon adalah kecil untuk mengganti dirimu.
Lalu, pohon dengan bentuk akar seperti apakah yang bisa melahirkanmu, Dik? Pada pelajaran ilmu pengetahuan alam, aku hanya belajar dua jenis: tunggang dan serabut. Tapi tidak mungkin kau terlahir dari akar berbentuk salah satu dari mereka. Kuyakin, ada akar jenis lain yang bisa melahirkanmu. Bisikkan, Dik. Akan kubeli seribu pohon dengan bentuk akar seperti yang akan kau bisikkan.
***
Aku tidak pernah bertemu lelaki angkuh yang ingin membeli segala yang ada di langit dan di bumi. Aku hanya seringkali berjumpa lelaki rendah hati dengan peci di kepala dan suaranya yang juga rendah. Tapi aku tidak pernah jatuh cinta pada lelaki seperti itu. Mereka lebih pantas meminang perempuan rendah hati dengan suara rendah pula.
Aku memang perempuan belian. Jikalau kau tidak bawa segudang emas, jangan coba-coba menawarku. Apalagi ayahku, jangan coba-coba mengunjunginya dengan tangan kosong, kau akan diusir sebelum tiba di pintu rumah. Kumis tebalnya akan semakin menebal, dan kerutan keningnya akan semakin sempit. Kau pasti akan pipis di celana menyaksikan rupanya yang menyeramkan.
Dari balik jendela di dalam rumah, aku dan ibuku akan cekikikan menertawakanmu. Sudah kubilang, aku adalah perempuan belian dengan harga tidak murah. Masih saja kau berani datang.
Sekali waktu, aku berhasil dibeli. Kekasihku itu punya bergudang-gudang emas. Ia sanggup menjelma menjadi Tuhan, ia membelikan ibuku seribu pohon, ia juga tak enggan membantuku mencuci kaki ayah. Ia melakukan segalanya untukku.
Aku benar-benar berkuasa atasnya. Budak-budaknya menjadikanku seperti tuan putri terkaya di negeri ini. Suaranya lebih rendah dari semua lelaki dengan suara rendah yang pernah datang kepadaku. Seringkali aku terdiam di kamar ketika budaknya sedang melepaskan pengait braku untuk disentuhnya. Apakah ada sesuatu dalam diriku yang ingin direnggutnya hingga ia melayaniku seperti orang tidak waras begini?
Aku adalah perempuan belian dengan harga sangat mahal. Barangkali, jika ia menukarku dengan sepuluh perempuan belian lain, ia akan lebih bahagia. Ia tidak perlu membeli budak-budak, ia tidak perlu membeli pohon dengan akar melilit berbentuk kemaluan laki-laki, dan ia tidak perlu ikut mencuci kaki ayahku.
Aku hendak bertanya, tapi aku adalah perempuan belian. Aku tidak berhak atas pertanyaan semacam itu. Karena aku perempuan belian, aku harus pura-pura jatuh cinta kepadanya dan mengerang ketika ia mencangkul ladangku. Meski, setelah benihnya tertanam, aku memintanya memindahkan kepada perut budaknya. Dan, bodohnya, ia menurut saja. Karena aku perempuan belian, aku juga tidak boleh menanyakan mengapa ia menurut atas setiap permintaanku.
***
Seorang bayi perempuan telah lahir dari perut budak kami. Aku menamainya Berlian. Kekasihku tampak bahagia sekali. Setiap hari ia menciumi bibir Berlian, ia menimang Berlian. Aku semakin heran, bukankah Berlian adalah benih dari seorang perempuan belian? Mengapa ia begitu tulus pada benih yang keruh itu.
Aku ingin sekali membawa Berlian kabur, meninggalkan kekasihku sendirian dengan kayanya yang tak pernah habis. Tapi setiap aku ingin mengambil sepatu dan membedung Berlian, aku teringat kekasihku. Aku perempuan belian, dan aku sudah dibeli kekasihku. Aku dibeli untuk tersenyum, telanjang, dan membelai kekasihku. Dan, barangkali, sesekali aku dibeli untuk menyusui Berlian anakku.
Sleman, 31 Januari 2014



Rabu, 05 Maret 2014

Dilarang jadi Pecundang



Ayah, pernahkah pada suatu malam kamu kedinginan dan Tuhan memaksamu untuk memimpikanku? Apa yang Tuhan bisikkan dalam mimpimu, Yah? Apakah Tuhan kata aku ini tidak menjaga amanah darimu? Atau, Tuhan menenangkanmu dengan segala hal baik tentang diriku? Ayah, kamu tahu, aku seringkali berbuat tolol di sini. Aku, mempermalukan diri sendiri.
Aku ingin pulang saja, Yah. Bertemu Ayah lalu menghabiskan malam dengan segelas teh telur dan buku-buku kebanggaan Ayah. Tapi kau tidak mendidikku untuk menjadi pecundang, Yah. Katamu, jika ingin menjadi pecundang, lebih baik memilih untuk tidak dilahirkan. Lalu ada seseorang dalam kepalaku yang bukan aku bertanya perihal itu.
“Pecundang itu apa? Apakah bisa dimakan atau dijadikan kekasih?”
Aku hanya mengerti satu definisi tentang pecundang, Yah. Penipu. Sudah, itu saja. Barangkali kisah tentang pecundang yang kau pesankan kepadaku itu agak berbeda, Yah. Ia memecundangi diri sendiri. Ia berbuat tolol kepada dirinya dan mimpi-mimpinya. Hingga menyesal, bahwasannya dalam setiap hari yang dijatahkan Tuhan, ia seharusnya bisa menjadi seorang makhluk bukan pecundang. Kemudian seseorang lainnya lagi yang ada di kepalaku bertutur bahwa aku bukan penipu jika berani melepas apa-apa yang tidak kusanggupi. Aku ingin melepas, Yah. Aku ingin bebas. Aku tidak ingin tertindas.
Ayah, kau benar. Aku akan kuat jika dipatahkan. Aku akan semakin keras jika dilemahkan. Ayah, aku tidak akan mempecundangi diri sendiri.
Ayah, tetaplah di hatiku. Seperti yang selalu kau katakan, “Sejauh apapun kamu, kita masih berada di langit yang sama, Sayang.”
Ayah... lihatlah ke langit, di sana ada aku yang tersenyum kepadamu. Pun, di sana juga ada aku yang ingin sekali memelukmu. Ayah, bangunlah dari mimpimu, putrimu lekas pulang.
Bulaksumur residence/ Dok. Nafisah 2012