Mendayung-2014 |
Dik,
Aku
ingin meminangmu dengan keperkasaan. Rumah-rumah mewah dan mobil mengkilat.
Belasan pembantu rumah tangga akan melayani kita. Mereka akan menyuguhkan kita
sepotong roti dengan selai cokelat Belgia dan susu murni pada setiap pagi.
Malamnya, ketika kau mengantuk dan aku teragak menyentuh payudaramu, aku akan
meminta bantuan salah satu dari mereka untuk membuka pengait bramu. Tanganku
dan tanganmu sekalipun tidak akan bekerja, kita hanya memakai otak dan
menghamburkan uang pada mereka-mereka yang membutuhkan.
Barangkali,
jika kau ingin menimang anak, aku juga akan meminta bantuan salah satu dari
mereka untuk mengandung dan melahirkan. Aku tidak akan membuat perutmu melebar
dengan menyimpan buah hati kita selama sembilan bulan di dalamnya. Aku ingin
merawatmu, dari rambut hingga ujung kaki. Aku ingin mengabadikan kecantikan
gadismu.
Dik,
Kata
orang-orang, kau adalah bidadari surga. Hanya Tuhanlah yang berhak meminangmu.
Apakah aku harus menjadi Tuhan dulu agar bisa meluluhkan hatimu yang beku? Aku
akan menjadi Tuhan, Dik. Aku akan menciptakan bumi, langit, dan segala isinya.
Tapi bumi, langit, dan isinya ciptaanku agak sempit, Dik. Tentu kau tahu
mengapa. Aku hanya menciptakannya untuk kita. Aku enggan berbagi bumi, langit,
dan segala isinya pada orang-orang. Aku menjadi Tuhan, dan kau adalah istri
Tuhan, dan ciptaanku adalah hamba-hamba yang akan memanjakan kita.
Aku
akan membuat malam telanjang lebih lama. Ah, jangan pura-pura tidak tahu, Dik.
Aku akan membawamu telanjang bersama malam. Aku dan kau akan menyatu, Tuhan,
istrinya, dan makhluknya akan bertelanjang.
Dik,
Sudahkah
kau bercerita tentang aku kepada Ayahmu? Aku dengar juga, Ayahmu itu berkumis
tebal dan keningnya suka berkerut. Benarkah, Dik? Kau tahu, aku punya ketakutan
yang agak berlebih kepada lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut, Dik.
Tapi
tak mengapa, aku akan merayu ayahmu agar menjualmu kepadaku, Dik. Orang-orang
dengan kumis tebal dan kening berkerut itu, jika dihadiahkan segudang emas, ia
akan mencukur kumisnya dan meratakan keningnya. Aku tentu tidak takut lagi.
Jatuhlah
kepadaku, Dik. Pada setiap akhir pekan, aku berjanji akan membawamu kepada
lelaki dengan kumis tebal dan kening berkerut itu. Lalu, jika kau suruh aku
membantumu mencuci kakinya dengan air garam, aku akan menurut, Dik. Aku akan
ikut menggosok daki pada telapak kaki lelaki dengan kumis tebal dan kening
berkerut itu dengan air garam yang agak keruh.
Nanti,
ketika dakinya sudah bersih dan ia tertidur dalam kesucian, aku akan mencium
bibirmu diam-diam sambil terus menggosok telapak kakinya. Dalam ciumanku,
kubisikkan padamu bahwa telapak kaki lelaki dengan kumis tebal dan kening
berkerut itu agak kecut. Tentu kau sudah tidak bisa marah kepadaku, Dik. Nanti,
jika kau berteriak sedikit saja, lelaki yang telapak kakinya masih kugosok itu
akan terbangun. Dan, ia menyuruhku menghentikan ciuman kepadamu.
Dik,
Apakah
kau dilahirkan dari pohon-pohon tak beranting? Rautmu meneduhkan. Bibirmu yang
merah dengan lekuk sempurna itu membuatku ingin mengecupnya tiba-tiba. Aku
ingin memelukmu dari balik pohon tempat kau dilahirkan. Menyandarkanmu pada
batangnya yang kokoh, lalu mengangkat kedua tanganmu ke atas. Membiarkanku
memelukmu dalam suara gesekan dedaunan pada pohon-pohon lain.
Bagaimana
caraku meminta izin kepada pohon-pohon untuk meminangmu? Apakah aku harus
menanam seribu pohon untuk melahirkan Dik-dik lain sepertimu. Aku akan. Seribu
pohon adalah kecil untuk mengganti dirimu.
Lalu,
pohon dengan bentuk akar seperti apakah yang bisa melahirkanmu, Dik? Pada
pelajaran ilmu pengetahuan alam, aku hanya belajar dua jenis: tunggang dan
serabut. Tapi tidak mungkin kau terlahir dari akar berbentuk salah satu dari
mereka. Kuyakin, ada akar jenis lain yang bisa melahirkanmu. Bisikkan, Dik.
Akan kubeli seribu pohon dengan bentuk akar seperti yang akan kau bisikkan.
***
Aku
tidak pernah bertemu lelaki angkuh yang ingin membeli segala yang ada di langit
dan di bumi. Aku hanya seringkali berjumpa lelaki rendah hati dengan peci di
kepala dan suaranya yang juga rendah. Tapi aku tidak pernah jatuh cinta pada
lelaki seperti itu. Mereka lebih pantas meminang perempuan rendah hati dengan
suara rendah pula.
Aku
memang perempuan belian. Jikalau kau tidak bawa segudang emas, jangan coba-coba
menawarku. Apalagi ayahku, jangan coba-coba mengunjunginya dengan tangan
kosong, kau akan diusir sebelum tiba di pintu rumah. Kumis tebalnya akan
semakin menebal, dan kerutan keningnya akan semakin sempit. Kau pasti akan
pipis di celana menyaksikan rupanya yang menyeramkan.
Dari
balik jendela di dalam rumah, aku dan ibuku akan cekikikan menertawakanmu.
Sudah kubilang, aku adalah perempuan belian dengan harga tidak murah. Masih
saja kau berani datang.
Sekali
waktu, aku berhasil dibeli. Kekasihku itu punya bergudang-gudang emas. Ia
sanggup menjelma menjadi Tuhan, ia membelikan ibuku seribu pohon, ia juga tak
enggan membantuku mencuci kaki ayah. Ia melakukan segalanya untukku.
Aku
benar-benar berkuasa atasnya. Budak-budaknya menjadikanku seperti tuan putri
terkaya di negeri ini. Suaranya lebih rendah dari semua lelaki dengan suara
rendah yang pernah datang kepadaku. Seringkali aku terdiam di kamar ketika
budaknya sedang melepaskan pengait braku untuk disentuhnya. Apakah ada sesuatu
dalam diriku yang ingin direnggutnya hingga ia melayaniku seperti orang tidak
waras begini?
Aku
adalah perempuan belian dengan harga sangat mahal. Barangkali, jika ia
menukarku dengan sepuluh perempuan belian lain, ia akan lebih bahagia. Ia tidak
perlu membeli budak-budak, ia tidak perlu membeli pohon dengan akar melilit
berbentuk kemaluan laki-laki, dan ia tidak perlu ikut mencuci kaki ayahku.
Aku
hendak bertanya, tapi aku adalah perempuan belian. Aku tidak berhak atas
pertanyaan semacam itu. Karena aku perempuan belian, aku harus pura-pura jatuh
cinta kepadanya dan mengerang ketika ia mencangkul ladangku. Meski, setelah
benihnya tertanam, aku memintanya memindahkan kepada perut budaknya. Dan,
bodohnya, ia menurut saja. Karena aku perempuan belian, aku juga tidak boleh
menanyakan mengapa ia menurut atas setiap permintaanku.
***
Seorang
bayi perempuan telah lahir dari perut budak kami. Aku menamainya Berlian.
Kekasihku tampak bahagia sekali. Setiap hari ia menciumi bibir Berlian, ia
menimang Berlian. Aku semakin heran, bukankah Berlian adalah benih dari seorang
perempuan belian? Mengapa ia begitu tulus pada benih yang keruh itu.
Aku
ingin sekali membawa Berlian kabur, meninggalkan kekasihku sendirian dengan
kayanya yang tak pernah habis. Tapi setiap aku ingin mengambil sepatu dan
membedung Berlian, aku teringat kekasihku. Aku perempuan belian, dan aku sudah
dibeli kekasihku. Aku dibeli untuk tersenyum, telanjang, dan membelai
kekasihku. Dan, barangkali, sesekali aku dibeli untuk menyusui Berlian anakku.
Sleman,
31 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar