Selasa, 18 November 2014

SI PADANG




Si Padang karya Harris Effendi Thahar ini lagi-lagi mengingatkan saya pada sastrawan favorit saya: Aa Navis. Bagaimana tidak, pada kata pembukanya yang ia beri judul “Obsesi Si Padang” tersebut, disematkan beberapa pesan Aa Navis kepada penulis, seperti “Untuk menulis cerita jangan sekali-kali menulis apa yang telah ditulis orang. Untuk membuat pembaca tertarik, harus ada kejutan-kejutan yang membuat orang terperangah.” Harris juga menegaskan prinsip Aa Navis yang baru mau berbicara dalam posisi sejajar dengannya ketika ia sudah bisa menembus media besar dan bergengsi. Kalau tidak, Aa Navis menganggap ia belum setara dengan Harris. Ia adalah sastrawan nasional, dan Harris adalah sastrawan lokal. Hal ini tidak mengejutkan saya, karena sehari-hari, Aa Navis memang dikenal sebagai sastrawan senior ‘pencemooh kelas ulung’, dan hal itu sudah melekat pada dirinya.
Pada review pertama ini, perlu saya beritahu bahwa tugas ini akan membebani diri saya hingga minggu-minggu berikutnya. Mengapa? Berkat dua orang teman saya yang calon direktur penerbitan dan editor handal itu, saya jadi ikut-ikutan berjudi sastra dengan menjanjikan satu review buku per minggunya, dan sialnya, pada kali pertama taruhan ini, sayalah yang harus menraktir mereka makan sebab saya tidak menaati aturan deadline pengupload-an review. Baiklah, saya tidak akan beralasan apa-apa untuk keterlambatan ini. Waktu satu minggu untuk –sekadar- membaca buku lalu menuliskan reviewnya adalah sangat panjang, jadi tidak ada pembenaran utnuk keterlambatan saya ini. Baiklah, selamat membaca, ya, Mas Mumu dan Galer, selepas itu kita makan-makan.
“Si Padang” adalah judul cerpen pembuka pada kumpulan cerpen karya Harris Effendi Thahar. Cerpen ini mengisahkan kemunafikan seorang bapak yang sekaligus mamak untuk kemenakannya. Sang bapak yang menampung kemenakan di rumahnya ini pada akhir cerita dikisahkan mengamuk karena anaknya Lidia ditemukan tengah berbuat senonoh dengan pacarnya di dalam kamar. Padahal, sesaat sebelum itu, kemenakannya diam-diam menjadi sopir taksi ilegal mengantarkannya bersama selingkuhannya ke sebuah rumah pondokan.
Cerpen selanjutnya, “Si Paris”, berkisah tentang seorang tua yang memiliki anak yang sudah sukses di rantau. Ia membanggakan anak lelaki satu-satunya itu pada setiap pembicaraan di lepau-lepau. Meski, jauh dalam hatinya ia merasakan kesedihan yang mendalam karena anaknya yang telah sukses itu jarang sekali memiliki waktu untuknya. Bahkan untuk sekadar bercakap lewat telpon saja ia harus meninggalkan pesan suara lewat mesin telpon terlebih dahulu. Bagian akhir cerita ditutup dengan kematian sang ayah yang kemudian membuat Alwi pulang ke kampung dan menjumpai warisan dari ayahnya yakni tanah merah dan buku tabungan di bank yang merupakan kumpulan weselnya yang tidak pernah dicairkan oleh sang ayah.
Tidak jauh berbeda dengan cerpen kedua, cerpen selanjutnya yang berjudul “Seperti Koin Seratusan” juga membahas harta warisan yang ditinggalkan oleh seorang ayah, yakni uang logam yang sangat banyak jumlahnya sehingga anak-anaknya yang menetap di tanah rantau kesulitan untuk membawa harta warisan itu ke tempat tinggal mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menitipkan harta warisan itu kepada dua orang saudaranya yang tinggal di kampung halaman.
Cerita yang diangkat oleh Harris dalam setiap cerpennya merupakan kisah-kisah yang memilukan. Cerpen “Ning” berkisah tentang seorang anak perempuan muda yang masih duduk di sekolah dasar. Anak itu seringkali menunggu ibunya sepulang sekolah karena sang ibu terlambat menjemput. Hingga pada suatu kesempatan, ia marah dan memutuskan untuk berjalan sendirian. Akan tetapi, ia malah ditolong oleh seorang laki-laki yang belakangan diketahui adalah anak dari ayahnya dengan istri sah sang ayah. Ning kecil yang tidak mengerti apa-apa, bahagia-bahagia saja ketika mengetahui hal tersebut.
Setelah “Ning”, Harris bercerita mengenai “Beras Pirang”, “Isi Hati Umar Jotos”, “Jalan Sepanjang Cinta”, “Kacamata Emak”, “Kades Mungkaruddin”, “Layang-layang Putus di Kala Senja”, dan sederet cerpen-cerpen bertema kehidupan lainnya. Jika Anda berwaktu luang, sempatkanlah membaca kumpulan cerpen ini, setidaknya, selesai membacanya Anda akan memiliki waktu untuk merenungkan kehidupan barang sebentar saja. Demikian!
Thahar, Harris Effendi. 2003. Si Padang. Jakarta: Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar