(Dok. Google) |
TRADISI MERANTAU
DALAM NOVEL KEMARAU KARYA A.A NAVIS
Nafisah
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Minangkabau
merupakan etnis yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Masyarakat
Minangkabau memiliki kebudayaan yang unik. Misalnya, sistem matrilinial yang
dianutnya. Tidak seperti suku-suku lain di Indonesia, Minangkabau menganut
sistem garis keturunan ibu. Selanjutnya, ada satu tradisi yang melekat pada
diri orang Minangkabau dari masa ke masa. Tradisi tersebut adalah tradisi merantau.
Setiap laki-laki (belakangan perempuan juga mengikutinya) yang sudah dewasa,
biasanya akan meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan yang lebih
baik di negeri orang. Tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini. Keunikan
tradisi ini digambarkan A.A Navis dalam novelnya berjudul Kemarau yang terbit pada tahun 1957.
Kata
kunci: Tradisi asal, merantau, keadaan di perantauan
PENGANTAR
Novel
Kemarau karya A.A Navis ini
berlatarkan Minangkabau. Pemilihan latar Minangkabau diduga karena penulis
merupakan putra asli dan besar di Minang. Hal ini membuat ia memahami adat dan
tradisi budaya Minangkabau dengan sangat detail. Tradisi merantau dimuat di
bagian awal dan tengah cerita dalam novel ini. Tradisi ini, sebagai tradisi
yang turun temurun, sudah selayaknya dikaji secara serius. Dalam artikel ini
akan dibahas tentang tradisi di daerah asal, asal muasal tradisi merantau, dan
keadaan di perantauan dalam novel Kemarau.
TRADISI DI
DAERAH ASAL
Peran Surau dan
Lepau dalam masyarakat Minangkabau
Surau merupakan tempat penting bagi masyarakat
Minangkabau. Kegiatan sehari-hari masyarakat dapat dilakukan di surau. Surau
ini dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan, pelatihan pencak
silat, serta memperdalam ilmu agama. Surau juga dijadikan sebagai tempat
berdiam oleh berbagai kalangan, baik para lajang, orang tua, atau anak-anak.
Biasanya, di setiap surau disediakan kamar untuk menginap bagi orang-orang yang
membutuhkan.
Selain
surau, tempat kedua yang identik dengan masyarakat Minangkabau adalah lepau. Menurut
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), lepau adalah warung kecil; kedai nasi; beranda
di belakang rumah untuk dapur dsb. Surau-surau dan warung-warung nasi merupakan
arena untuk ‘pendewasaan’ serta ‘periode turun tanah’ anak-anak muda, yaitu
transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Pelly, 1994:27). Lepau akan makin ramai
pada malam hari. Pengunjung lepau biasanya didominasi oleh kaum laki-laki.
Pada hakikatnya di Minangkabau orang laki-laki
amat sengsara. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Hanya sebentar
saja dia tinggal di dalam rumah ibunya, yaitu sampai umur 6 tahun. Lepas itu,
dia sudah mesti tidur ke surau bersama teman-temannya sambil belajar mengaji
Al-Quran (Hamka, 1963:36).
Dalam novel Kemarau, pentingnya surau dan lepau oleh masyarakat Minangkabau dapat
dilihat dalam bagian berikut.
Demikianlah
orang-orang di kampung itu telah bicara sepuas hatinya di mana mereka sempat
berkumpul. Hanya bicara seorang diri rupanya orang tak mau memakai mulutnya,
sebab takut kalau dikatakan gila. Perempuan-perempuan di tepian mandi.
Laki-laki di Lepau, di rumah ronda, bahkan di pelataran mesjid juga. (K, 1957:28).
Pada suatu hari
Kemis sore, ketika ia mengadakan pengajian lagi untuk kaum perempuan di
suraunya, ketika Sutan Duano sudah merasa sudah tiba saatnya untuk mempengaruhi
kaum perempuan itu bergotong royong mengangkut air, sebab kentara bedanya
sawahnya yang disiram dengan tidak, dicobanyalah mempengaruhi perempuan itu
dengan kebijakannya berbicara. (K, 1957:34).
Di sebuah sudut
di atas suraunya, Sutan Duano membuat dapur di situ. Ia memasak dengan kompor.
Dijerangnya air di kompor itu dulu, kemudian baru dicucinya beras ke bawah, ke
tepi kolamnya. Kusir itu mengikutinya ke tepi kolam. (K, 1957:39)
Menurut
Pelly, surau adalah pusat-pusat pendidikan agama dalam pengertian yang luas,
termasuk masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan masyarakat luas. Surau
dapat dipandang sebagai lambang kesucian (sacral),
sopan santun, serta kepatuhan kepada Allah. Warung-warung nasi adalah lembaga
bisnis (profane), melambangkan
keduniawian, kekasaran, dan keberanian. Di surau orang harus menjaga tingkah lakunya
dan berbicara sopan, tetapi di lepau mereka bisa berbuat semaunya (1994: 28). Di
lepau orang-orang mengobrol, menceritakan berbagai kabar angin (humor), hal-hal
yang agak porno, serta membahas masalah-masalah politik (Pelly, 1994:28).
Dalam novel Kemarau, lepau digambarkan sebagai tempat untuk bersantai. Main kartu,
bergunjing, dan minum-minum biasanya dilakukan di lepau.
“Siapa sangka
musim kemarau membawa bala?” kata seorang laki-laki yang kumisnya hampir
menutup seluruh bibirnya.
“Apakah tidak bala
namanya, kalau sawah kita merana?” jawab temannya yang duduk di depannya.
“Sawah yang
merana, tapi hati orangnya segar karena mendapat air cinta,” kata si panjang
kumis.
“Waduh. Orang
gaek bicara perkara cinta. Alangkah parau kedengarannya.”
Semua isi Lepau
tertawa terbahak-bahak. (K, 1957:28).
“Ia baru mulai
mengajar kita mengaji, tiba-tiba ia mau pergi. Siapa yang akan menggantikannya?
Akan kita minta Buya Bidin mengajar kita lagi? Oh, janganlah. Tak sebuah
ajarannya yang dapat membuka akal kita. Malah ia seperti mencerca partai kita
setiap mengaji. Padahal sedekah kita diterimanya juga. Jadi kita telah
memberinya makan untuk menghantam partai kita sendiri,” kata Lenggang Sutan
mengeluh entah kepada siapa di sudut Lepau. Ia tak ikut main kartu. Hanya duduk
mengunjur di balai-balai dan bersandar ke dinding. (K, 1957:60).
ASAL MULA
TRADISI MERANTAU
Menurut
Hamka, Noer (via Pelly, 1994: 29) jika laki-laki hanya berdiam di lepau
sepanjang hari tanpa mengunjungi surau untuk mendengarkan petuah-petuah agama,
maka orang-orang kampung menamai mereka parewa
(perusuh), jika mereka hanya berdiam di surau mereka dinamai pakih (orang yang taat agama). Baik parewa ataupun pakih tidak ada yang sempurna. Biasanya, mamak mereka membujuk agar
mau merantau sehingga nanti setelah pulang akan ada orang yang mau
mengangkatnya menjadi menantu.
Novel Kemarau juga menjelaskan tentang asal mula merantaunya tokoh utama,
yakni Sutan Duano.
“Aku lama hidup
di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan. “Kota tidak bisa menentramkan hati.
Itulah sebabnya aku ke kampung ini. Di sini aku tentram dan bahagia.” (K,
1957:13).
Sutan Duano
muncul di kampung itu pada akhir pendudukan Jepang. Wali Negeri di kampung itu
mengijinkannya mendiami sebuah surau tinggal yang telah lapuk dan tersia-sia. (K,
1957:7).
“Waktu itu jaman
Jepang, Masri. Cara-cara hidup Jepang memang cocok buat tempat lariku dari
kesengsaraan. Aku akan mati rasanya, apabila aku tak dapat meminum seteguk
tuak. Sampai demikian, Masri. Sampai demikian hinanya,” komentarnya atas
lamunannya. “Tiba-tiba datanglah mamakmu, Haji Tumbijo. Ia jadi orang penting
di samping Jepang ketika itu. Ia kutuki aku karena telah menyia-nyiakan engkau.
Katanya, kalau engkau sengsara atau melakukan dosa-dosa pula, maka akulah sebagai
ayahmu yang bertanggung jawab. Setiap dosa yang kau lakukan, itu adalah dosaku
juga, katanya. Karena akulah ibumu mati. Dan setelah ibumu mati engkaupun aku
sia-siakan. Demikian kutukannya kepadaku. Akhirnya aku diancamnya. Katanya,
kalau tak merobah hidupku, tidak mencari kau sampai ketemu, aku akan
dikirimkannya ke Logas sebagai romusya. Dan aku akan jadi bangkai di sana, lalu
binatang hutan akan menyerpih dagingku yang membusuk.
“Ke mana akan
kucari Masri?” kataku ketakutan.
“Ke mana saja. Cari
dia sampai dapat,” gertaknya.
“Carilah ia
dalam hatimu, seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan
pahala-pahala dan kebaikan. Kalau kau telah dapat itu, telah dapat pahala dan
kebaikan, engkau sudah menemui Tuhan. Sudah menemui kebenaran. Dan disitulah
Masri berada,” katanya.
Ucapannya itu
menyadarkanku, Masri. Aku pun tobat. Dan akhirnya aku terdampar di kampung ini
hingga sekarang. (K, 1957:69).
Penduduk kampung
itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit, karena terletak antara
bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah
dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau tanah perumahan. Sedang tanah di
lereng-lereng bukit telah padat oleh pohon pala, cengkeh dan surian. Dan hasil
sawah yang ada tidak pula mencukupi bagi isi perut petaninya sendiri. Maka itu,
setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, lebih
dari separoh laki-laki di situ kembali ke rantau. (K, 1957:8)
Penyebab
Sutan Duano merantau adalah karena istrinya meninggal. Kemudian ia mencoba
menikah lagi, akan tetapi setiap pernikahannya selalu gagal. Setelah lelah,
akhirnya ia memutuskan untuk menikmati wanita penjaja seks saja. Akan tetapi,
hal tersebut diketahui oleh Masri, anaknya. Masri marah pada Sutan Duano dan
meninggalkannya. Sutan Duano menyesali perbuatannya, ia diperintahkan oleh Haji
Tumbijo, mamaknya Masri untuk mencari Masri sampai ketemu. Disuruhnya untuk
mencari Masri dengan berbuat baik sesuai yang diperintahkan Tuhan. Akhirnya,
Sutan Duano sampai di kampung tempat ia tinggal sekarang. Di sana, ia berbuat
baik pada semua orang. Ia bekerja dengan tekun, digarapnya sawah dengan ulet.
Ia juga mengajar mengaji perempuan-perempuan di kampung itu. Kemudian pada
musim kemarau, diangkutnya air danau untuk mengairi sawahnya yang kering. Sutan
Duano benar-benar meninggalkan perilaku negatifnya dahulu.
KEHIDUPAN DI
PERANTAUAN
Para
perantau biasanya ada yang sukses dan tidak. Perantau sukses dan baik hatinya akan
tetap menjaga anak istrinya serta memberikan nafkah. Sedangkan, yang sukses dan
sangat tinggi ambisinya untuk mencapai kepuasan duniawi, biasanya akan pulang
membawa seorang istri lagi dan istri pertama serta anaknya ditelantarkan.
Perkara ini sangat jelas digambarkan
dalam novel Kemarau. Ada dua tokoh
yang merantau dalam novel ini. Pertama, Sutan Duano. Ia merupakan perantau
sukses. Ia menolong semua orang di tempat perantauannya. Tak satupun
orang-orang yang membencinya. Tokoh perantau kedua adalah Sutan Caniago. Sutan
Caniago dibantu oleh Sutan Duano untuk membiayai ongkosnya ke perantauan. Sama
halnya dengan Sutan Duano, setelah di perantauan, Sutan Caniago sukses. Ia juga
tidak melupakan anak istrinya di kampung halaman.
Awal dari
segalanya, yakni pada suatu hari datanglah seorang laki-laki bersama Sutan
Caniago kepadanya. Ia seorang ayah dari empat orang anak. Katanya ia tak
sanggup di kampung lagi. Maksudnya hendak merantau, mengadu untung di kota.
Tapi ia memerlukan modal. Untuk mendapat modal itulah ia menemui Sutan Duano.
Ia hendak mengijon padinya yang telah selesai disianginya. (K, 1957:11).
Sutan Duano
tahu, bahwa orang-orang yang merantau itu pada masa permulaannya yang
kadang-kadang panjang itu tenggelam seperti batu jatuh ke lubuk di rantau
orang. Jarang sekali mereka mengirimkan nafkah buat anak istrinya yang berkuras
mencarikan isi perut mereka di kampung. Dan pada suatu masa kalau suaminya
pulang, ia membawakan kain baju yang indah-indah buat anak istrinya. Dan si
istri memakainya ke setiap pasar seolah memperagakan pemberian suaminya yang
beruntung di rantau. (K, 1957:12).
Lalu si suami
pergi lagi ke rantau seorang diri, dan kembali lagi setahun kemudian dengan
oleh-olehnya yang indah-indah.bagi perempuan-perempuan itu sudah cukup, meski
nafkah hidupnya tak dikirimkan setiap bulannya. (K, 1957:12).
Dan bagi
laki-laki yang betul-betul sukses di rantau orang, akan mengakibatkan yang
lebih buruk lagi. Umumnya laki-laki itu akan mengambil istri baru yang lebih
muda dan lebih cantik kalau ia pulang membawa kesuksesannya. Dan istri yang tua
akan tinggal seperti rangka yang reot dan berkewajiban pula memelihara
anak-anak yang punya bapak kaya tapi tak memperdulikannya. Jarang sekali
laki-laki yang sukses itu tetap setia pada istrinya yang pertama. (K, 1957:12).
Setelah sebulan
lamanya laki-laki itu di rantau, datanglah suratnya yang mengatakan ia telah
mulai keliling berdagang baju kompeksi. Pada surat kedua, dikatakannya bahwa
harapannya sangat besar sekali pada perdagangannya itu. Dan pada suratnya yang
ketiga, dikatakannya bahwa ia telah mengirimkan nafkah buat anak istrinya. Ia
pun sudah sembahyang dan pembicaraan Sutan Duano di Surau pada malam itu sangat
mengesankan hatinya. Akhirnya pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia
merasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang
dijualnya dengan hanya memotong seharga uang yang diberikannya dulu. (K,
1957:16).
SIMPULAN
Merantau
merupakan tradisi turun temurun dalam masyarakat Minangkabau. A.A Navis dalam
novelnya Kemarau memberikan
pengetahuan tentang tradisi ini. Penuturan tentang tradisi merantau dimulai
dengan adat kebiasaan di daerah asal, yakni penggunaan surau dan lepau yang
dominan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tentang alasan-alasan mengapa
seseorang harus merantau. Argumen ini diperkuat oleh Hamka yang menyatakan
bahwa menjadi Pakih atau Parewa saja tidak cukup. Pemuda
Minangkabau harus merantau, barulah nantinya akan ada orang yang mau
meminangnya. Setelah merantau, A.A Navis juga menuturkan berbagai tipikal
kehidupan di perantauan. Ada perantau yang sukses dan baik hati. Ia tetap
bertanggung jawab terhadap kehidupan anak istrinya. Ada perantau yang sukses
tapi tidak mau bertanggung jawab lagi terhadap kehidupan anak istrinya.
Biasanya, perantau seperti ini hanya mengejar kepuasan duniawi, mereka akan
mencari istri baru kemudian menelantarkan anak dan istri pertamanya. Dan yang
terakhir, ada perantau yang gagal. Baik di kampung ataupun di perantauan, tetap
saja nasibnya seperti itu. Akan tetapi, sosok perantau gagal ini tidak
dijelaskan dalam novel Kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka.
1963. Adat Minangkabau Menghadapi
Revolusi. Firma Tekad: Jakarta.
Navis,
A.A. 1977. Kemarau. Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya.
Pelly,
Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi:
Peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing. PT Pustaka LP3ES Indonesia,
anggota IKAPI: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar