Selasa, 07 Januari 2014

TRADISI MERANTAU DALAM NOVEL KEMARAU KARYA AA NAVIS

(Dok. Google)


TRADISI MERANTAU DALAM NOVEL KEMARAU KARYA A.A NAVIS

Nafisah
Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Minangkabau merupakan etnis yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau memiliki kebudayaan yang unik. Misalnya, sistem matrilinial yang dianutnya. Tidak seperti suku-suku lain di Indonesia, Minangkabau menganut sistem garis keturunan ibu. Selanjutnya, ada satu tradisi yang melekat pada diri orang Minangkabau dari masa ke masa. Tradisi tersebut adalah tradisi merantau. Setiap laki-laki (belakangan perempuan juga mengikutinya) yang sudah dewasa, biasanya akan meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini. Keunikan tradisi ini digambarkan A.A Navis dalam novelnya berjudul Kemarau yang terbit pada tahun 1957.

Kata kunci: Tradisi asal, merantau, keadaan di perantauan

PENGANTAR

Novel Kemarau karya A.A Navis ini berlatarkan Minangkabau. Pemilihan latar Minangkabau diduga karena penulis merupakan putra asli dan besar di Minang. Hal ini membuat ia memahami adat dan tradisi budaya Minangkabau dengan sangat detail. Tradisi merantau dimuat di bagian awal dan tengah cerita dalam novel ini. Tradisi ini, sebagai tradisi yang turun temurun, sudah selayaknya dikaji secara serius. Dalam artikel ini akan dibahas tentang tradisi di daerah asal, asal muasal tradisi merantau, dan keadaan di perantauan dalam novel Kemarau.

TRADISI DI DAERAH ASAL

Peran Surau dan Lepau dalam masyarakat Minangkabau
Surau merupakan tempat penting bagi masyarakat Minangkabau. Kegiatan sehari-hari masyarakat dapat dilakukan di surau. Surau ini dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan, pelatihan pencak silat, serta memperdalam ilmu agama. Surau juga dijadikan sebagai tempat berdiam oleh berbagai kalangan, baik para lajang, orang tua, atau anak-anak. Biasanya, di setiap surau disediakan kamar untuk menginap bagi orang-orang yang membutuhkan.
 Selain surau, tempat kedua yang identik dengan masyarakat Minangkabau adalah lepau. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), lepau adalah warung kecil; kedai nasi; beranda di belakang rumah untuk dapur dsb. Surau-surau dan warung-warung nasi merupakan arena untuk ‘pendewasaan’ serta ‘periode turun tanah’ anak-anak muda, yaitu transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Pelly, 1994:27). Lepau akan makin ramai pada malam hari. Pengunjung lepau biasanya didominasi oleh kaum laki-laki.
 Pada hakikatnya di Minangkabau orang laki-laki amat sengsara. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Hanya sebentar saja dia tinggal di dalam rumah ibunya, yaitu sampai umur 6 tahun. Lepas itu, dia sudah mesti tidur ke surau bersama teman-temannya sambil belajar mengaji Al-Quran (Hamka, 1963:36).
Dalam novel Kemarau, pentingnya surau dan lepau oleh masyarakat Minangkabau dapat dilihat dalam bagian berikut.

Demikianlah orang-orang di kampung itu telah bicara sepuas hatinya di mana mereka sempat berkumpul. Hanya bicara seorang diri rupanya orang tak mau memakai mulutnya, sebab takut kalau dikatakan gila. Perempuan-perempuan di tepian mandi. Laki-laki di Lepau, di rumah ronda, bahkan di pelataran mesjid juga. (K, 1957:28).

Pada suatu hari Kemis sore, ketika ia mengadakan pengajian lagi untuk kaum perempuan di suraunya, ketika Sutan Duano sudah merasa sudah tiba saatnya untuk mempengaruhi kaum perempuan itu bergotong royong mengangkut air, sebab kentara bedanya sawahnya yang disiram dengan tidak, dicobanyalah mempengaruhi perempuan itu dengan kebijakannya berbicara. (K, 1957:34).

Di sebuah sudut di atas suraunya, Sutan Duano membuat dapur di situ. Ia memasak dengan kompor. Dijerangnya air di kompor itu dulu, kemudian baru dicucinya beras ke bawah, ke tepi kolamnya. Kusir itu mengikutinya ke tepi kolam. (K, 1957:39)

Menurut Pelly, surau adalah pusat-pusat pendidikan agama dalam pengertian yang luas, termasuk masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan masyarakat luas. Surau dapat dipandang sebagai lambang kesucian (sacral), sopan santun, serta kepatuhan kepada Allah. Warung-warung nasi adalah lembaga bisnis (profane), melambangkan keduniawian, kekasaran, dan keberanian. Di surau orang harus menjaga tingkah lakunya dan berbicara sopan, tetapi di lepau mereka bisa berbuat semaunya (1994: 28). Di lepau orang-orang mengobrol, menceritakan berbagai kabar angin (humor), hal-hal yang agak porno, serta membahas masalah-masalah politik (Pelly, 1994:28).

Dalam novel Kemarau, lepau digambarkan sebagai tempat untuk bersantai. Main kartu, bergunjing, dan minum-minum biasanya dilakukan di lepau.

“Siapa sangka musim kemarau membawa bala?” kata seorang laki-laki yang kumisnya hampir menutup seluruh bibirnya.
“Apakah tidak bala namanya, kalau sawah kita merana?” jawab temannya yang duduk di depannya.
“Sawah yang merana, tapi hati orangnya segar karena mendapat air cinta,” kata si panjang kumis.
“Waduh. Orang gaek bicara perkara cinta. Alangkah parau kedengarannya.”
Semua isi Lepau tertawa terbahak-bahak. (K, 1957:28).

“Ia baru mulai mengajar kita mengaji, tiba-tiba ia mau pergi. Siapa yang akan menggantikannya? Akan kita minta Buya Bidin mengajar kita lagi? Oh, janganlah. Tak sebuah ajarannya yang dapat membuka akal kita. Malah ia seperti mencerca partai kita setiap mengaji. Padahal sedekah kita diterimanya juga. Jadi kita telah memberinya makan untuk menghantam partai kita sendiri,” kata Lenggang Sutan mengeluh entah kepada siapa di sudut Lepau. Ia tak ikut main kartu. Hanya duduk mengunjur di balai-balai dan bersandar ke dinding. (K, 1957:60).


ASAL MULA TRADISI MERANTAU

Menurut Hamka, Noer (via Pelly, 1994: 29) jika laki-laki hanya berdiam di lepau sepanjang hari tanpa mengunjungi surau untuk mendengarkan petuah-petuah agama, maka orang-orang kampung menamai mereka parewa (perusuh), jika mereka hanya berdiam di surau mereka dinamai pakih (orang yang taat agama). Baik parewa ataupun pakih tidak ada yang sempurna. Biasanya, mamak mereka membujuk agar mau merantau sehingga nanti setelah pulang akan ada orang yang mau mengangkatnya menjadi menantu.
Novel Kemarau juga menjelaskan tentang asal mula merantaunya tokoh utama, yakni Sutan Duano.

“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan. “Kota tidak bisa menentramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung ini. Di sini aku tentram dan bahagia.” (K, 1957:13).

Sutan Duano muncul di kampung itu pada akhir pendudukan Jepang. Wali Negeri di kampung itu mengijinkannya mendiami sebuah surau tinggal yang telah lapuk dan tersia-sia. (K, 1957:7).

“Waktu itu jaman Jepang, Masri. Cara-cara hidup Jepang memang cocok buat tempat lariku dari kesengsaraan. Aku akan mati rasanya, apabila aku tak dapat meminum seteguk tuak. Sampai demikian, Masri. Sampai demikian hinanya,” komentarnya atas lamunannya. “Tiba-tiba datanglah mamakmu, Haji Tumbijo. Ia jadi orang penting di samping Jepang ketika itu. Ia kutuki aku karena telah menyia-nyiakan engkau. Katanya, kalau engkau sengsara atau melakukan dosa-dosa pula, maka akulah sebagai ayahmu yang bertanggung jawab. Setiap dosa yang kau lakukan, itu adalah dosaku juga, katanya. Karena akulah ibumu mati. Dan setelah ibumu mati engkaupun aku sia-siakan. Demikian kutukannya kepadaku. Akhirnya aku diancamnya. Katanya, kalau tak merobah hidupku, tidak mencari kau sampai ketemu, aku akan dikirimkannya ke Logas sebagai romusya. Dan aku akan jadi bangkai di sana, lalu binatang hutan akan menyerpih dagingku yang membusuk.
“Ke mana akan kucari Masri?” kataku ketakutan.
“Ke mana saja. Cari dia sampai dapat,” gertaknya.
“Carilah ia dalam hatimu, seperti kau mencari Tuhan, mencari kebenaran. Carilah dengan pahala-pahala dan kebaikan. Kalau kau telah dapat itu, telah dapat pahala dan kebaikan, engkau sudah menemui Tuhan. Sudah menemui kebenaran. Dan disitulah Masri berada,” katanya.
Ucapannya itu menyadarkanku, Masri. Aku pun tobat. Dan akhirnya aku terdampar di kampung ini hingga sekarang. (K, 1957:69).
Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit, karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau tanah perumahan. Sedang tanah di lereng-lereng bukit telah padat oleh pohon pala, cengkeh dan surian. Dan hasil sawah yang ada tidak pula mencukupi bagi isi perut petaninya sendiri. Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, lebih dari separoh laki-laki di situ kembali ke rantau. (K, 1957:8)

Penyebab Sutan Duano merantau adalah karena istrinya meninggal. Kemudian ia mencoba menikah lagi, akan tetapi setiap pernikahannya selalu gagal. Setelah lelah, akhirnya ia memutuskan untuk menikmati wanita penjaja seks saja. Akan tetapi, hal tersebut diketahui oleh Masri, anaknya. Masri marah pada Sutan Duano dan meninggalkannya. Sutan Duano menyesali perbuatannya, ia diperintahkan oleh Haji Tumbijo, mamaknya Masri untuk mencari Masri sampai ketemu. Disuruhnya untuk mencari Masri dengan berbuat baik sesuai yang diperintahkan Tuhan. Akhirnya, Sutan Duano sampai di kampung tempat ia tinggal sekarang. Di sana, ia berbuat baik pada semua orang. Ia bekerja dengan tekun, digarapnya sawah dengan ulet. Ia juga mengajar mengaji perempuan-perempuan di kampung itu. Kemudian pada musim kemarau, diangkutnya air danau untuk mengairi sawahnya yang kering. Sutan Duano benar-benar meninggalkan perilaku negatifnya dahulu.

KEHIDUPAN DI PERANTAUAN

Para perantau biasanya ada yang sukses dan tidak. Perantau sukses dan baik hatinya akan tetap menjaga anak istrinya serta memberikan nafkah. Sedangkan, yang sukses dan sangat tinggi ambisinya untuk mencapai kepuasan duniawi, biasanya akan pulang membawa seorang istri lagi dan istri pertama serta anaknya ditelantarkan.
Perkara ini sangat jelas digambarkan dalam novel Kemarau. Ada dua tokoh yang merantau dalam novel ini. Pertama, Sutan Duano. Ia merupakan perantau sukses. Ia menolong semua orang di tempat perantauannya. Tak satupun orang-orang yang membencinya. Tokoh perantau kedua adalah Sutan Caniago. Sutan Caniago dibantu oleh Sutan Duano untuk membiayai ongkosnya ke perantauan. Sama halnya dengan Sutan Duano, setelah di perantauan, Sutan Caniago sukses. Ia juga tidak melupakan anak istrinya di kampung halaman.

Awal dari segalanya, yakni pada suatu hari datanglah seorang laki-laki bersama Sutan Caniago kepadanya. Ia seorang ayah dari empat orang anak. Katanya ia tak sanggup di kampung lagi. Maksudnya hendak merantau, mengadu untung di kota. Tapi ia memerlukan modal. Untuk mendapat modal itulah ia menemui Sutan Duano. Ia hendak mengijon padinya yang telah selesai disianginya. (K, 1957:11).

Sutan Duano tahu, bahwa orang-orang yang merantau itu pada masa permulaannya yang kadang-kadang panjang itu tenggelam seperti batu jatuh ke lubuk di rantau orang. Jarang sekali mereka mengirimkan nafkah buat anak istrinya yang berkuras mencarikan isi perut mereka di kampung. Dan pada suatu masa kalau suaminya pulang, ia membawakan kain baju yang indah-indah buat anak istrinya. Dan si istri memakainya ke setiap pasar seolah memperagakan pemberian suaminya yang beruntung di rantau. (K, 1957:12).

Lalu si suami pergi lagi ke rantau seorang diri, dan kembali lagi setahun kemudian dengan oleh-olehnya yang indah-indah.bagi perempuan-perempuan itu sudah cukup, meski nafkah hidupnya tak dikirimkan setiap bulannya. (K, 1957:12).

Dan bagi laki-laki yang betul-betul sukses di rantau orang, akan mengakibatkan yang lebih buruk lagi. Umumnya laki-laki itu akan mengambil istri baru yang lebih muda dan lebih cantik kalau ia pulang membawa kesuksesannya. Dan istri yang tua akan tinggal seperti rangka yang reot dan berkewajiban pula memelihara anak-anak yang punya bapak kaya tapi tak memperdulikannya. Jarang sekali laki-laki yang sukses itu tetap setia pada istrinya yang pertama. (K, 1957:12).

Setelah sebulan lamanya laki-laki itu di rantau, datanglah suratnya yang mengatakan ia telah mulai keliling berdagang baju kompeksi. Pada surat kedua, dikatakannya bahwa harapannya sangat besar sekali pada perdagangannya itu. Dan pada suratnya yang ketiga, dikatakannya bahwa ia telah mengirimkan nafkah buat anak istrinya. Ia pun sudah sembahyang dan pembicaraan Sutan Duano di Surau pada malam itu sangat mengesankan hatinya. Akhirnya pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijualnya dengan hanya memotong seharga uang yang diberikannya dulu. (K, 1957:16).

SIMPULAN

Merantau merupakan tradisi turun temurun dalam masyarakat Minangkabau. A.A Navis dalam novelnya Kemarau memberikan pengetahuan tentang tradisi ini. Penuturan tentang tradisi merantau dimulai dengan adat kebiasaan di daerah asal, yakni penggunaan surau dan lepau yang dominan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tentang alasan-alasan mengapa seseorang harus merantau. Argumen ini diperkuat oleh Hamka yang menyatakan bahwa menjadi Pakih atau Parewa saja tidak cukup. Pemuda Minangkabau harus merantau, barulah nantinya akan ada orang yang mau meminangnya. Setelah merantau, A.A Navis juga menuturkan berbagai tipikal kehidupan di perantauan. Ada perantau yang sukses dan baik hati. Ia tetap bertanggung jawab terhadap kehidupan anak istrinya. Ada perantau yang sukses tapi tidak mau bertanggung jawab lagi terhadap kehidupan anak istrinya. Biasanya, perantau seperti ini hanya mengejar kepuasan duniawi, mereka akan mencari istri baru kemudian menelantarkan anak dan istri pertamanya. Dan yang terakhir, ada perantau yang gagal. Baik di kampung ataupun di perantauan, tetap saja nasibnya seperti itu. Akan tetapi, sosok perantau gagal ini tidak dijelaskan dalam novel Kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1963. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Firma Tekad: Jakarta.
Navis, A.A. 1977. Kemarau. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing. PT Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI: Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar