Kepada kawanku yang senyumnya memesona lelaki
dan perempuan serta makhluk halus...
Barangkali aku tidak pernah bisa tersenyum
sepertimu.
Seperti yang berkali-kali kau katakan
kepadaku, “Kamu, perempuan dengan mata tolol dan senyuman yang selalu terpaksa.”
Tatapan mataku memang seringkali kosong, Kawan... Tapi semoga saja hatiku
tidak. Dan, kau berhentilah mengingatkan hal itu padaku. Aku cukup tahu sekali
saja.
Barangkali aku tidak pernah bisa menjadi
perempuan rajin—tugas dan tanggungjawab selalu kuselesaikan menjelang deadline—tapi begitulah aku, Kawan. Aku memang
lebih memilih menelepon Ayah, Mama, dan Adik-adikku... Aku lebih senang
berkumpul dengan teman-temanku terlebih dahulu, dan.. Aku sedang berjuang
meraih mimpi-mimpiku (yang tidak perlu kau ketahui dan memang tidak ingin kau
ketahui). Seperti yang berkali-kali juga kau katakan, “Jangan sering
menunda-nunda pekerjaanmu, nanti tidak selesai.” Kau benar, Kawan. Tapi satu
hal yang perlu kau camkan, aku akan (selalu berusaha) menyelesaikan setiap
amanah. Tak usahlah kau seperti orang paling amanah di muka bumi ini. Orang punya
cara masing-masing untuk berbenah, Kawan.
Barangkali aku tidak pernah bisa berbicara
secerdas gaya bicaramu yang serupa kran tak bersumbat itu. Aku bukan tidak
ingin berkata-kata, Kawan. Aku hanya terlalu berlebihan menimbang segala yang
terlontar. Bagiku, ada tiga hal penting yang dimiliki setiap orang dalam
hidupnya: mulut, otak, dan hati. Setiap mulut memang berhak berucap atas apa
saja, setiap otak juga berhak berpikir tentang apa saja, begitu juga hati... ia
punya hak akan segala perasaan. Tapi ceritanya berbeda ketika tiga barang
penting itu menjadi penghubung antarmanusia, mereka tidak berhak atas haknya
jika mengganggu hak orang lain. Susunan kata-kataku memang buruk, Kawan... Tapi
aku yakin, kau yang cerdas dan memesona itu paham apa maksudku. Jangan membuat
mulutmu menjadi kejam ketika meneruskan pesan otak untuk menyakiti hati orang
lain. Ini kehidupan dengan banyak manusia, bukan kehidupan dalam rimba dengan
kera-kera yang tak mengerti bahasa.
Seperti batu yang ditetesi air terus menerus,
seperti karet gelang yang selalu ditarik-tarik, ia akan hancur, ia akan putus. Barangkali
seperti itu jualah aku kepadamu, aku sudah hancur, aku sudah putus.
Dok. Nafisah/ Auditorium FIB UGM, 2013 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar