Selasa, 28 Januari 2014

Surat Cinta untuk Kawanku



Kepada kawanku yang senyumnya memesona lelaki dan perempuan serta makhluk halus...

Barangkali aku tidak pernah bisa tersenyum sepertimu.
Seperti yang berkali-kali kau katakan kepadaku, “Kamu, perempuan dengan mata tolol dan senyuman yang selalu terpaksa.” Tatapan mataku memang seringkali kosong, Kawan... Tapi semoga saja hatiku tidak. Dan, kau berhentilah mengingatkan hal itu padaku. Aku cukup tahu sekali saja.

Barangkali aku tidak pernah bisa menjadi perempuan rajin—tugas dan tanggungjawab selalu kuselesaikan menjelang deadline—tapi begitulah aku, Kawan. Aku memang lebih memilih menelepon Ayah, Mama, dan Adik-adikku... Aku lebih senang berkumpul dengan teman-temanku terlebih dahulu, dan.. Aku sedang berjuang meraih mimpi-mimpiku (yang tidak perlu kau ketahui dan memang tidak ingin kau ketahui). Seperti yang berkali-kali juga kau katakan, “Jangan sering menunda-nunda pekerjaanmu, nanti tidak selesai.” Kau benar, Kawan. Tapi satu hal yang perlu kau camkan, aku akan (selalu berusaha) menyelesaikan setiap amanah. Tak usahlah kau seperti orang paling amanah di muka bumi ini. Orang punya cara masing-masing untuk berbenah, Kawan.

Barangkali aku tidak pernah bisa berbicara secerdas gaya bicaramu yang serupa kran tak bersumbat itu. Aku bukan tidak ingin berkata-kata, Kawan. Aku hanya terlalu berlebihan menimbang segala yang terlontar. Bagiku, ada tiga hal penting yang dimiliki setiap orang dalam hidupnya: mulut, otak, dan hati. Setiap mulut memang berhak berucap atas apa saja, setiap otak juga berhak berpikir tentang apa saja, begitu juga hati... ia punya hak akan segala perasaan. Tapi ceritanya berbeda ketika tiga barang penting itu menjadi penghubung antarmanusia, mereka tidak berhak atas haknya jika mengganggu hak orang lain. Susunan kata-kataku memang buruk, Kawan... Tapi aku yakin, kau yang cerdas dan memesona itu paham apa maksudku. Jangan membuat mulutmu menjadi kejam ketika meneruskan pesan otak untuk menyakiti hati orang lain. Ini kehidupan dengan banyak manusia, bukan kehidupan dalam rimba dengan kera-kera yang tak mengerti bahasa.

Seperti batu yang ditetesi air terus menerus, seperti karet gelang yang selalu ditarik-tarik, ia akan hancur, ia akan putus. Barangkali seperti itu jualah aku kepadamu, aku sudah hancur, aku sudah putus.



Dok. Nafisah/ Auditorium FIB UGM, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar