Rabu, 09 April 2014

SILUMAN HARIMAU




MENJELANG tengah malam, orang-orang sudah terkapar. Raga mulai beraksi. Ia menginjit berjalan ke dalam hutan. Tak lupa, dibawanya sebilah parang untuk memberi tanda berbentuk lingkaran. Hutan selalu gelap pada malam hari. Beberapa kali Pemerintah Kota sudah mencoba memasang penerangan di sini, tapi tak ada yang berhasil.
Orang suruhan mereka, yang dibayar berlipat-lipat banyaknya untuk memasang listrik, pasti pulang dengan bersimbah darah di tubuhnya. Istri-istrinya histeris, mereka menghujat Pemerintah Kota. Sejak itulah, hutan selalu gelap, dan akan gelap sampai habis waktu.
Tidak seperti perangai penduduk kampung, Raga selalu terjaga pada setiap malam. Barangkali ia tidur siang? Oh, tidak juga. Ia hanya tertidur di dalam jiwanya, itu pun pada pergantian hari ketika langit berubah warna dari terang menjadi kelabu. Jikalau tidak turun hujan, tentu jiwanya juga tidak pernah tidur.
Raga mengasah parangnya, diayunkannya pada tanah hutan dengan rumput-rumput berduri. Ia mengukir garis putus-putus berbentuk lingkaran. Lingkaran sempurna.
Raga masuk ke dalam lingkaran. Kakinya membentuk posisi kuda-kuda, tangannya diayunkannya berkali-kali, menendang-nendang, seperti sedang bergelut dengan harimau. Raga selalu berputar di dalam lingkarannya, ia memang sudah ahli. Ah, bukan begitu sebenarnya... Raga hanya takut untuk keluar dari dalam medan kekuatannya, ia takut ditelan harimau dalam perkelahiannya.
Raga tidak pernah sekali pun berjumpa siluman harimau dalam wujud sebenarnya. Ia merasa belum sanggup. Ia takut mati konyol di dalam hutan dengan simbahan darah di dadanya. Nanti, pastilah surat kabar-surat kabar di kota membuat berita berlebihan atasnya, dan kampungnya akan menjadi objek wisata baru. Objek wisata siluman harimau. Raga tidak menginginkan hal itu terjadi, ia mengasihani penduduk kampungnya. Jikalau ada pendatang lagi, hendak ke mana akan diinapkan penduduk kampung itu? Jumlahnya sudah melebihi batas wajar. Lihat saja, di masing-masing rumah, satu kamar dengan ukuran 2,5x3 m dihuni oleh enam orang. Suami-istri di kampung ini memang senang membuat anak.
Menjelang matahari naik ke peraduan, Raga bergegas mengganti baju hitamnya. Ia pulang dengan dada polos dan parang yang terkebat di pinggangnya. Ia juga tidak lupa menghapus garis putus-putus ukirannya.
Raga naik lewat jendela di rumah gadang. Ia mengaitkan sebuah tali, lalu dengan sangat sigap melayang dan meraih jendela yang agak tinggi itu. Dirapatkannya pelan-pelan agar kelima orang adiknya tidak terbangun. Lalu, ia mengambil kitab-kitabnya dan mulai larut dalam kekhusyukan.
***
Pemerintah Kota sedang ricuh. Beberapa bulan lagi, akan ada kunjungan dari Pemerintah Pusat. Pada laporan-laporan kerjanya di tahun-tahun yang sudah-sudah, Pemerintah Kota dengan sangat mudah memanipulasi data. Mereka melakukan pembohongan besar-besaran. Mereka meyakini satu hal: kampungnya tidak terjamah.
Lain raja lain titahnya. Begitulah, pemimpin pusat yang baru ini, orangnya suka bertualang. Ia diakui sebagai orang jujur oleh rekan-rekannya sesama manusia ataupun makhluk halus. Orang-orang segan kepadanya. Orang-orang mulai takut melakukan kejahatan. Orang-orang mulai mencari jalan membersihkan diri sebelum benar-benar bertobat.
Pemimpin pusat ini, mengumumkan kepada setiap daerah tentang kunjungannya pada setiap akhir bulan. Ia ingin sekali menyapa rakyatnya di setiap negeri, tidak terkecuali kampung di mana Raga terlahir dan besar. Kampung yang pemerintah kotanya agak bangsat, otaknya hanya berisikan uang, uang, dan jabatan. Atau, jikalau sedikit lebih manusiawi, membantu orang untuk mendapatkan dukungan suara.
Ada satu hal yang memberatkan pemerintah kota. Pada setiap promosinya untuk memohon dana ke Pemerintah Pusat, mereka menjual isu penerangan. Lima tahun yang lalu, dilaporkannya kegelapan tentang kampung, dan tahun kemarin, mereka mengaku sekarang kampungnya sudah terang benderang. Dana dari pemerintah pusat benar-benar membantu mereka.
Lihatlah, di kampung itu, di dalam hutan yang letaknya sangat dekat sekali, tidak pernah kau temukan cahaya pada malam hari. Sudah kubilang, tidak satu pun pekerja yang sanggup memasang penerang di sana. Mereka selalu pulang dengan kematian. Mereka selalu pulang dengan mengerikan.
Pemerintah Kota mulai melakukan sayembara-sayembara. Tapi nihil. Masyarakat kampung mengacuhkan semua iming-iming hadiah. Mereka lebih memilih tidur bersempit-sempit dengan anak bininya daripada harus menjemput kematian, bertemu dengan siluman harimau di dalam hutan.
Raga selalu berbeda. Disimpannya lembaran sayembara untuk direnung-renungkannya lagi. Raga ingin sekali membantu Pemerintah Kota. Barangkali, setelah ia rela berkorban, ayahnya akan diberikan rumah mewah dengan kamar berjumlah tiga belas orang, sesuai dengan banyaknya orang di rumahnya saat ini. Betapa mewah. Raga mendesah. Keringatnya menguat, dadanya sesak.
Isu tentang keberanian Raga menyebar ke seantero kampung. Ayahnya diingatkan oleh sesepuh kampung agar melarang Raga meneruskan keberaniannya. Pun ibunya, di setiap pengajian pada akhir pekan, ibunya disuruh untuk membujuk Raga agar membatalkan niatnya. Raga semakin risau. Niatnya tidak disokong kedua orangtuanya.
Hari berkunjung semakin dekat, dan Raga belum mengambil keputusan. Ia terlambat.
***
Setelah nasi menjadi bubur, tak ada yang dapat dilakukan lagi. Jika kau mencoca-coba menambahkan garam pada bubur, kau harus bersiap untuk lebih hancur. Pemerintah Kota sudah pasrah, dibiarkannya Pemimpin Pusat datang dan mencela. Mereka menyerahkan segenap diri atas kesalahannya di masa lalu. Salah yang bertahun-tahun lamanya, salah yang menyengsarakan keluarga-keluarga dan turunannya.
***
Pemimpin pusat geram. Ia tiba di kampung dengan membawa sepaket penghargaan untuk kampung Raga. Dari laporan-laporan yang ia terima, kampung itulah yang paling baik penerangannya. Ia ingin menjadikan kampung itu teladan kampung lainnya.
Pemimpin Pusat menampar Pemimpin Kota. Untuk pertama kalinya, pemimpin pusat yang jujur dan santun itu berbuat demikian di hadapan masyarakatnya. Ia seperti dirasuki iblis. Semua piala di genggamannya dihempaskan hingga menjadi kepingan. Orang-orang tidak berani berkata-kata, mereka takut jadi sasaran amuk Pemimpin Pusat.
Amuk belum berhenti, saat itu juga Pemimpin Pusat mengukuhkan hukuman mati untuk pekerja negara yang berdusta. Orang-orang semakin ngeri, baru kali ini ada pemimpin seberani ini.
Pemimpin Kota dibawa ke sebuah lahan di pinggir kampung. Kedua tangannya diikat serupa salib. Orang-orang mengelilinya dengan tatapan iba dan jijik. Mereka menyumpahi, tapi ada juga yang mendoakan.
Pemimpin pusat tidak sedikit pun terlihat iba, di keningnya, masih terlihat kerutan pertanda kemarahan yang garang. Ia mengambil minyak tanah dalam wadah kecil, lalu menyiramkannya kepada pemimpin kota. Dari ujung rambut, perlahan jatuh ke ujung kaki. Pemimpin Kota seperti sedang dimandikan air kembang.
Pemandian minyak tanah usai, Pemimpin Pusat menyulut korek api dari dalam saku celananya. Tanpa hitungan, ia melemparkannya pada muka Pemimpin Kota. Masyarakat berteriak, mereka menutup muka, api berkobar dengan sangat gagah.
Pemimpin Kota menjadi abu.
Dari pinggir hutan, seorang ibu berteriak histeris. Ia menggeret mayat laki-laki dengan simbahan darah di dadanya. Di pinggang lelaki itu terikat sebuah parang.
“Siluman harimau membenci orang-orang yang datang ke hutan tatkala di kampungnya sedang berlangsung upacara kematian.”
Sleman, 31 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar