MENJELANG
tengah malam, orang-orang sudah terkapar. Raga mulai beraksi. Ia menginjit
berjalan ke dalam hutan. Tak lupa, dibawanya sebilah parang untuk memberi tanda
berbentuk lingkaran. Hutan selalu gelap pada malam hari. Beberapa kali Pemerintah Kota sudah mencoba memasang
penerangan di sini, tapi tak ada yang berhasil.
Orang
suruhan mereka, yang dibayar berlipat-lipat banyaknya untuk memasang listrik,
pasti pulang dengan bersimbah darah di tubuhnya. Istri-istrinya histeris,
mereka menghujat Pemerintah
Kota.
Sejak itulah, hutan selalu gelap, dan akan gelap sampai habis waktu.
Tidak
seperti perangai penduduk kampung, Raga selalu terjaga pada setiap malam.
Barangkali ia tidur siang? Oh, tidak juga. Ia hanya tertidur di dalam jiwanya, itu pun pada pergantian hari ketika
langit berubah warna dari terang menjadi kelabu. Jikalau tidak turun hujan,
tentu jiwanya juga tidak pernah tidur.
Raga
mengasah parangnya, diayunkannya pada tanah hutan dengan rumput-rumput berduri.
Ia mengukir garis putus-putus berbentuk lingkaran. Lingkaran sempurna.
Raga
masuk ke dalam lingkaran. Kakinya membentuk posisi kuda-kuda, tangannya
diayunkannya berkali-kali, menendang-nendang, seperti sedang bergelut dengan
harimau. Raga selalu berputar di dalam lingkarannya, ia memang sudah ahli. Ah,
bukan begitu sebenarnya... Raga hanya takut untuk keluar dari dalam medan
kekuatannya, ia takut ditelan harimau dalam perkelahiannya.
Raga
tidak pernah sekali pun berjumpa siluman
harimau dalam wujud sebenarnya. Ia merasa belum sanggup. Ia takut mati konyol
di dalam hutan dengan simbahan darah di dadanya. Nanti, pastilah surat
kabar-surat kabar di kota membuat berita berlebihan atasnya, dan kampungnya
akan menjadi objek wisata baru. Objek wisata siluman harimau. Raga tidak
menginginkan hal itu terjadi, ia mengasihani penduduk kampungnya. Jikalau ada
pendatang lagi, hendak ke mana akan diinapkan penduduk kampung itu? Jumlahnya
sudah melebihi
batas wajar. Lihat saja, di masing-masing rumah, satu kamar dengan ukuran 2,5x3
m dihuni oleh enam orang. Suami-istri di kampung
ini memang senang membuat anak.
Menjelang
matahari naik ke peraduan, Raga bergegas
mengganti baju hitamnya. Ia pulang dengan dada polos dan parang yang terkebat
di pinggangnya. Ia juga tidak lupa menghapus garis putus-putus ukirannya.
Raga
naik lewat jendela di rumah
gadang.
Ia mengaitkan sebuah tali, lalu dengan sangat sigap melayang dan meraih jendela
yang agak tinggi itu. Dirapatkannya
pelan-pelan agar kelima orang adiknya tidak terbangun. Lalu, ia mengambil
kitab-kitabnya dan mulai larut dalam kekhusyukan.
***
Pemerintah
Kota
sedang ricuh. Beberapa bulan lagi, akan ada kunjungan dari Pemerintah Pusat. Pada laporan-laporan kerjanya
di tahun-tahun yang sudah-sudah, Pemerintah
Kota
dengan sangat mudah memanipulasi data. Mereka melakukan pembohongan
besar-besaran. Mereka meyakini satu hal: kampungnya tidak terjamah.
Lain
raja lain titahnya. Begitulah, pemimpin
pusat yang baru ini, orangnya suka bertualang. Ia diakui sebagai orang jujur
oleh rekan-rekannya sesama manusia ataupun makhluk halus. Orang-orang segan
kepadanya. Orang-orang mulai takut melakukan kejahatan. Orang-orang mulai
mencari jalan membersihkan diri sebelum benar-benar bertobat.
Pemimpin
pusat
ini, mengumumkan kepada setiap daerah tentang kunjungannya pada setiap akhir
bulan. Ia ingin sekali menyapa rakyatnya di setiap negeri, tidak terkecuali
kampung di mana Raga terlahir dan besar. Kampung yang pemerintah kotanya agak
bangsat, otaknya hanya berisikan uang, uang, dan jabatan. Atau, jikalau sedikit
lebih manusiawi, membantu orang untuk mendapatkan dukungan suara.
Ada
satu hal yang memberatkan pemerintah kota. Pada setiap promosinya untuk memohon
dana ke Pemerintah
Pusat,
mereka menjual isu penerangan. Lima tahun yang lalu, dilaporkannya kegelapan tentang
kampung, dan tahun kemarin,
mereka mengaku sekarang kampungnya sudah terang benderang. Dana dari pemerintah
pusat benar-benar membantu mereka.
Lihatlah,
di kampung itu, di dalam hutan yang letaknya sangat dekat sekali, tidak pernah
kau temukan cahaya pada malam hari. Sudah kubilang, tidak satu pun pekerja yang sanggup memasang
penerang di sana. Mereka selalu pulang dengan kematian. Mereka selalu pulang
dengan mengerikan.
Pemerintah
Kota
mulai melakukan sayembara-sayembara. Tapi nihil. Masyarakat kampung mengacuhkan
semua iming-iming hadiah. Mereka lebih memilih tidur bersempit-sempit dengan
anak bininya daripada harus menjemput kematian, bertemu dengan siluman harimau
di dalam hutan.
Raga
selalu berbeda. Disimpannya lembaran sayembara untuk direnung-renungkannya
lagi. Raga ingin sekali membantu Pemerintah
Kota.
Barangkali, setelah ia rela berkorban, ayahnya akan diberikan rumah mewah
dengan kamar berjumlah tiga belas orang, sesuai dengan banyaknya orang di
rumahnya saat ini. Betapa mewah. Raga mendesah. Keringatnya menguat, dadanya
sesak.
Isu
tentang keberanian Raga menyebar ke seantero kampung. Ayahnya diingatkan oleh
sesepuh kampung agar melarang Raga meneruskan keberaniannya. Pun ibunya, di setiap pengajian pada
akhir pekan, ibunya
disuruh untuk membujuk Raga agar membatalkan niatnya. Raga semakin risau.
Niatnya tidak disokong kedua orangtuanya.
Hari
berkunjung semakin dekat, dan Raga belum mengambil keputusan. Ia terlambat.
***
Setelah
nasi menjadi bubur, tak ada yang dapat dilakukan lagi. Jika kau mencoca-coba menambahkan
garam pada bubur, kau harus bersiap untuk lebih hancur. Pemerintah Kota sudah
pasrah, dibiarkannya Pemimpin Pusat datang dan mencela. Mereka menyerahkan
segenap diri atas kesalahannya di masa lalu. Salah yang bertahun-tahun lamanya,
salah yang menyengsarakan keluarga-keluarga dan turunannya.
***
Pemimpin
pusat geram. Ia tiba di kampung dengan membawa sepaket penghargaan untuk
kampung Raga. Dari laporan-laporan yang ia terima, kampung itulah yang paling
baik penerangannya. Ia ingin menjadikan kampung itu teladan kampung lainnya.
Pemimpin
Pusat
menampar Pemimpin
Kota.
Untuk pertama kalinya, pemimpin pusat yang jujur dan santun itu berbuat
demikian di hadapan masyarakatnya. Ia seperti dirasuki iblis. Semua piala di
genggamannya dihempaskan hingga menjadi kepingan. Orang-orang tidak berani
berkata-kata, mereka takut jadi sasaran amuk Pemimpin Pusat.
Amuk
belum berhenti, saat itu juga Pemimpin
Pusat
mengukuhkan hukuman mati untuk pekerja negara yang berdusta. Orang-orang
semakin ngeri, baru kali ini ada pemimpin seberani ini.
Pemimpin
Kota
dibawa ke sebuah lahan di pinggir kampung. Kedua tangannya diikat serupa salib.
Orang-orang mengelilinya dengan tatapan iba dan jijik. Mereka menyumpahi, tapi
ada juga yang mendoakan.
Pemimpin
pusat tidak sedikit pun
terlihat iba, di keningnya, masih terlihat kerutan pertanda kemarahan yang
garang. Ia mengambil minyak tanah dalam wadah kecil, lalu menyiramkannya kepada
pemimpin kota. Dari ujung rambut, perlahan jatuh ke ujung kaki. Pemimpin Kota seperti sedang dimandikan air
kembang.
Pemandian
minyak tanah usai, Pemimpin
Pusat
menyulut korek api dari dalam saku celananya. Tanpa hitungan, ia melemparkannya
pada muka Pemimpin
Kota.
Masyarakat berteriak, mereka menutup muka, api berkobar dengan sangat gagah.
Pemimpin
Kota
menjadi abu.
Dari
pinggir hutan, seorang ibu
berteriak histeris. Ia menggeret mayat laki-laki dengan simbahan darah di
dadanya. Di pinggang lelaki itu terikat sebuah parang.
“Siluman
harimau membenci orang-orang yang datang ke hutan tatkala di kampungnya sedang
berlangsung upacara kematian.”
Sleman,
31 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar