BUDIMAN
diam-diam
merobek jarit batik milik Seruni. Disimpannya sobekan itu di bawah bantal.
Sebelum tidur, ia berkali-kali menciumi sobekan itu, lalu menggunakannya untuk
mengelap keringat di dahinya. Sikap Budiman membuat Dermawan heran. Baru kali
ini bapaknya itu bertingkah aneh.
Setiap pagi, Budiman
berangkat ke pasar untuk mengantarkan sebakul kacang panjang. Ia memetiknya di
kebun milik Rupawan, suami Seruni. Budiman adalah buruh kesayangan Rupawan. Ia
berkali-kali diberi bonus tiap akhir bulan. Ia juga selalu dibiarkan makan
sepuasnya di meja makan Rupawan. Kebaikan hati Rupawan membuat urat malu
Budiman mengendur. Ia semakin lantas angan.
Ketika Rupawan
buru-buru meninggalkan meja makan untuk berangkat kerja, ia acap berlama-lama
duduk menguasai meja makan milik tuannya itu. Ia tidak segan-segan mengambil,
bahkan menghabiskan segala macam hidangan yang tersedia. Dan, ia juga mulai
mencoba-coba melirik Seruni. Seringkali disenggolnya telapak tangan Seruni
ketika hendak mengambil lauk di hadapannya. Dan, malangnya, Seruni malah kian
menjadi-jadi. Ia menunjukkan ekspresi malu-malu yang menjijikkan. Budiman makin
lupa diri. Kali ini, ia berani menyenggol paha Seruni dengan pahanya.
Suatu hari, pada malam
Jumat kliwon, Rupawan menitipkan rumahnya (dan istrinya) pada Budiman. Ia hendak
ke kota menjemput bibit tanaman di tempat langganannya. Seruni merajuk minta
dibawa, ia hendak pula sesekali merasakan nikmatnya berkeliling di kota. Dengan
gedung-gedung tinggi pencakar langit, bias cahaya lampu-lampu oranye pada malam
hari, ia hendak mengambil potret diri lalu memamerkannya pada istri-istri lain
di kampung. Menyadari istrinya sudah salah niat, Rupawan menolak. Ia bersikeras
akan pulang lebih awal. Ia berjanji akan datang ke kota mengambil bibit saja,
lalu buru-buru pulang kepada Seruni.
Seruni diam. Ia
mengumpat suaminya dari dalam hati.
***
Memang dasar Budiman tidak
tahu diri, baru saja Rupawan melangkahkan kaki dari rumah, ia sudah mengintip
dari balik pagar. Begitu Rupawan menaiki delman menuju terminal, ia sudah tiba
di ruang depan.
“Ini pukul satu malam, Man.”
Seruni membawakannya secangkir kopi pekat dan semangkuk ubi rebus.
“Memangnya kenapa jika
pukul satu malam? Bukankah pada tengah malam kau terlihat semakin cantik dan
menggairahkan?” Budiman mulai berseloroh nakal. Ia meneguk kopi lalu melirik
kepada Seruni yang mulai salah tingkah.
“Ah, kau ini. Baru saja
suamiku pergi, kau sudah nakal.”
“Jangankan ketika
suamimu pergi, suamimu di sini saja... aku memang sudah nakal.” Budiman sudah
tak berhambat, dirangkulnya pinggang Seruni lalu didudukkannya di atas
pangkuannya. Ia menciumi bahu Seruni dari balik punggung.
“Oh, beginilah rupanya
bau perempuan ayu yang baru ditinggal suaminya beberapa menit.”
***
Pagi-pagi sekali,
Budiman heboh di rumahnya. Ia menendang Dermawan yang masih nyenyak tidurnya.
“Hei, kau mencuri sobekan jarit batik Seruni dari bawah bantalku?”
Dermawan terbit pula
murkanya. Dihantamnya perut Budiman, lalu berteriak di depan mukanya. “Apa
urusanku dengan jarit batik Seruni-mu itu.”
Budiman kesakitan.
Hantaman Dermawan pada perutnya membuatnya ingin muntah-muntah.
Ia tidak ke kebun. Dari
rumahnya, ia berjalan lemah ke rumah Rupawan. Di sana, ia menghadap Rupawan dan
berkeluhkesah atas sakit di perutnya. Rupawan merasa kasihan sekali,
dicarikannya obat lalu dibawakannya makanan untuk Budiman. Ia juga menyuruh
Seruni menemani Budiman lantaran ingin mengambil kacang panjang sebentar. Ia
takut kalau-kalau sakit perut Budiman semakin parah.
“Mengapa Dermawan
melawan kepadamu, Man?” Seruni mengaduk bubur hangat yang disiapkannya untuk
Budiman.
“Aku menuduhnya
mengambil sobekan jarit batik milikmu yang kusimpan di bawah bantalku.”
Budiman lupa satu hal.
Kepada dukun tempat ia bertapa, ia dilarang memberitahu Seruni tentang sobekan
jarit batik Seruni yang dicurinya.
Seruni seakan menjadi
singa hutan. Ia melemparkan bubur di hadapannya ke arah Budiman. Budiman
terperanjat. Ingin sekali ditariknya kata-katanya agar tak pupus cinta Seruni
kepadanya.
Budiman mencoba merayu
seperti yang sudah-sudah, dengan perut yang masih perih bekas hantaman anaknya,
ia mengelus bahu Seruni.
Seruni menepis, ditinggalkannya
Budiman lalu berlari ke kebun menemui suaminya. Ia terisak, ia seperti
disadarkan. Ia bersujud kepada suaminya, dilontarkannya segala ulah Budiman
atasnya.
Memang dasar Rupawan si
baik hati, tidak peduli dengan berlimpahnya hartanya, tampan mukanya, ia
berjalan tenang ke rumah. Ditemuinya Budiman baik-baik. Lalu ditanyakannya
keadaan perut Budiman.
Budiman menduga Rupawan
akan memakinya, lalu memecat atau menjadikannya penjahat kampung. Budiman
sembah sujud kepada Rupawan. Ia pura-pura menyesal, dan mengeluarkan
sumpah-sumpah yang sebenarnya palsu.
Rupawan tersenyum
santai. Dari balik saku celananya, dikeluarkannya pula sesobek jarit batik.
Budiman terperangah.
“Hei, dari mana kau dapatkan sobekan jarit batik istriku?” ia melotot menghadap
ke Rupawan.
“Kita impas. Aku sudah
terlebih dahulu memohonkan kutukan atas
istrimu.” Rupawan terkekeh, ia semakin tampan.
Sleman,
31 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar