Rabu, 09 April 2014

MELAMAR KUTUKAN


BUDIMAN diam-diam merobek jarit batik milik Seruni. Disimpannya sobekan itu di bawah bantal. Sebelum tidur, ia berkali-kali menciumi sobekan itu, lalu menggunakannya untuk mengelap keringat di dahinya. Sikap Budiman membuat Dermawan heran. Baru kali ini bapaknya itu bertingkah aneh.
Setiap pagi, Budiman berangkat ke pasar untuk mengantarkan sebakul kacang panjang. Ia memetiknya di kebun milik Rupawan, suami Seruni. Budiman adalah buruh kesayangan Rupawan. Ia berkali-kali diberi bonus tiap akhir bulan. Ia juga selalu dibiarkan makan sepuasnya di meja makan Rupawan. Kebaikan hati Rupawan membuat urat malu Budiman mengendur. Ia semakin lantas angan.
Ketika Rupawan buru-buru meninggalkan meja makan untuk berangkat kerja, ia acap berlama-lama duduk menguasai meja makan milik tuannya itu. Ia tidak segan-segan mengambil, bahkan menghabiskan segala macam hidangan yang tersedia. Dan, ia juga mulai mencoba-coba melirik Seruni. Seringkali disenggolnya telapak tangan Seruni ketika hendak mengambil lauk di hadapannya. Dan, malangnya, Seruni malah kian menjadi-jadi. Ia menunjukkan ekspresi malu-malu yang menjijikkan. Budiman makin lupa diri. Kali ini, ia berani menyenggol paha Seruni dengan pahanya.
Suatu hari, pada malam Jumat kliwon, Rupawan menitipkan rumahnya (dan istrinya) pada Budiman. Ia hendak ke kota menjemput bibit tanaman di tempat langganannya. Seruni merajuk minta dibawa, ia hendak pula sesekali merasakan nikmatnya berkeliling di kota. Dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit, bias cahaya lampu-lampu oranye pada malam hari, ia hendak mengambil potret diri lalu memamerkannya pada istri-istri lain di kampung. Menyadari istrinya sudah salah niat, Rupawan menolak. Ia bersikeras akan pulang lebih awal. Ia berjanji akan datang ke kota mengambil bibit saja, lalu buru-buru pulang kepada Seruni.
Seruni diam. Ia mengumpat suaminya dari dalam hati.
***
Memang dasar Budiman tidak tahu diri, baru saja Rupawan melangkahkan kaki dari rumah, ia sudah mengintip dari balik pagar. Begitu Rupawan menaiki delman menuju terminal, ia sudah tiba di ruang depan.
“Ini pukul satu malam, Man.” Seruni membawakannya secangkir kopi pekat dan semangkuk ubi rebus.
“Memangnya kenapa jika pukul satu malam? Bukankah pada tengah malam kau terlihat semakin cantik dan menggairahkan?” Budiman mulai berseloroh nakal. Ia meneguk kopi lalu melirik kepada Seruni yang mulai salah tingkah.
“Ah, kau ini. Baru saja suamiku pergi, kau sudah nakal.”
“Jangankan ketika suamimu pergi, suamimu di sini saja... aku memang sudah nakal.” Budiman sudah tak berhambat, dirangkulnya pinggang Seruni lalu didudukkannya di atas pangkuannya. Ia menciumi bahu Seruni dari balik punggung.
“Oh, beginilah rupanya bau perempuan ayu yang baru ditinggal suaminya beberapa menit.”
***
Pagi-pagi sekali, Budiman heboh di rumahnya. Ia menendang Dermawan yang masih nyenyak tidurnya. “Hei, kau mencuri sobekan jarit batik Seruni dari bawah bantalku?”
Dermawan terbit pula murkanya. Dihantamnya perut Budiman, lalu berteriak di depan mukanya. “Apa urusanku dengan jarit batik Seruni-mu itu.”
Budiman kesakitan. Hantaman Dermawan pada perutnya membuatnya ingin muntah-muntah.
Ia tidak ke kebun. Dari rumahnya, ia berjalan lemah ke rumah Rupawan. Di sana, ia menghadap Rupawan dan berkeluhkesah atas sakit di perutnya. Rupawan merasa kasihan sekali, dicarikannya obat lalu dibawakannya makanan untuk Budiman. Ia juga menyuruh Seruni menemani Budiman lantaran ingin mengambil kacang panjang sebentar. Ia takut kalau-kalau sakit perut Budiman semakin parah.
“Mengapa Dermawan melawan kepadamu, Man?” Seruni mengaduk bubur hangat yang disiapkannya untuk Budiman.
“Aku menuduhnya mengambil sobekan jarit batik milikmu yang kusimpan di bawah bantalku.”
Budiman lupa satu hal. Kepada dukun tempat ia bertapa, ia dilarang memberitahu Seruni tentang sobekan jarit batik Seruni yang dicurinya.
Seruni seakan menjadi singa hutan. Ia melemparkan bubur di hadapannya ke arah Budiman. Budiman terperanjat. Ingin sekali ditariknya kata-katanya agar tak pupus cinta Seruni kepadanya.
Budiman mencoba merayu seperti yang sudah-sudah, dengan perut yang masih perih bekas hantaman anaknya, ia mengelus bahu Seruni.
Seruni menepis, ditinggalkannya Budiman lalu berlari ke kebun menemui suaminya. Ia terisak, ia seperti disadarkan. Ia bersujud kepada suaminya, dilontarkannya segala ulah Budiman atasnya.
Memang dasar Rupawan si baik hati, tidak peduli dengan berlimpahnya hartanya, tampan mukanya, ia berjalan tenang ke rumah. Ditemuinya Budiman baik-baik. Lalu ditanyakannya keadaan perut Budiman.
Budiman menduga Rupawan akan memakinya, lalu memecat atau menjadikannya penjahat kampung. Budiman sembah sujud kepada Rupawan. Ia pura-pura menyesal, dan mengeluarkan sumpah-sumpah yang sebenarnya palsu.
Rupawan tersenyum santai. Dari balik saku celananya, dikeluarkannya pula sesobek jarit batik.
Budiman terperangah. “Hei, dari mana kau dapatkan sobekan jarit batik istriku?” ia melotot menghadap ke Rupawan.
“Kita impas. Aku sudah terlebih dahulu memohonkan kutukan  atas istrimu.” Rupawan terkekeh, ia semakin tampan.
Sleman, 31 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar