Sabtu, 08 Februari 2014

Susahnya Menangis



SUDAH LAMA SAYA TIDAK MENANGIS. MUNGKIN TERAKHIR KALI WAKTU SAYA SUSAH EEK MERASAKAN SAKITNYA CABUT GIGI SELAMA DUA JAM. Oh, mungkin menangis perkara fisik tidak pantas dimasukkan ke dalam hitungan. Kapan, ya terakhir kali saya menangis? Ah, saya sudah tidak ingat. Hati saya agak bebal akhir-akhir ini, susah tersentuh, susah merasa. Mungkin terlalu sering disakiti nonton komedi.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Dada sesak, pikiran mumet, dan tetap saja... saya tidak bisa. Sesak di dada hanya sampai ke kepala, mata saya ternyata tidak ingin bekerjasama untuk menyalurkan kesedihan ini. Mungkin, setelah ini saya harus bikin cerpen berjudul “Perempuan tanpa Air Mata”. Hahaha, ga lucu ya.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Delapan hari lagi, saya harus membayarkan uang sebesar 900ribu untuk suatu keperluan. Bukan, Ayah saya bukan pengangguran yang tidak bisa menafkahi putrinya. Ini adalah persoalan saya dengan diri sendiri, kuliah ditanggung orang tua, makan ini itu dan lain sebagainya juga, haruskah jalan menuju impian-impian besar saya juga orang tua yang menyuapinya? Tentu tidak! Sekali lagi tidak. Kamu, adalah gadis 18 tahun yang sudah disekolahkan ibu bapakmu belasan tahun lamanya. Tak adakah seuprit sedikit pun ilmumu yang bisa kau gunakan untuk mengumpulkan kertas keluaran bank yang disebut orang-orang dengan uang itu? Ada. Ada! Saya bisa menulis, saya bisa menghidupkan kembali bisnis online saya, saya bisa berhemat setidaknya. Barangkali dulu saya menulis dengan alasan munafik “menghidupkan dunia kesusastraan Indonesia”, sekarang saya akan ganti judul. Saya menulis untuk cari duit! Saya akan menulis genre apa pun, meski dicap alay bin lebay (apasih) sekalipun. Hidup itu pilihan, dan saya berjuang pada keputusan-keputusan yang terkadang menyedihkan. Jika kau, atau siapapun hendak menghujat, datanglah. Sampaikan dengan baik, dan saya akan menerima dengan senang hati.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Malangnya, tentang duit lagi. Untuk pertama kalinya, saya berada di kepanitiaan yang membutuhkan dana sekitar 790juta. Dan sialnya, saya memilih menjadi tim sponsorship—tempat di mana uang itu menjadi tanggungjawab saya. Ke mana saya harus ngemis minta duit segepok gitu? Kalau saja prostitusi itu halal, saya akan jual gadis-gadis tim ke om-om kaya di negeri ini (hahaha *otaksetan*). Tunggu, tunggu. Saya tidak sendiri kok. Ada Lathif (koor kami yang baik hati dan sabar), Nuna (putri Kebumen yang ngomongnya kaya Power Ranger), Lana (yang sampai detik ini belum bisa melafadzkan huruf “R”), dan Anang (yang sering sakit (?). Teman-teman, kuatkan aku, kukuatkan kalian. Kita, adalah pejuang 790juta! Yey! #fyi Besok saya mau nodong pejabat-pejabat via telepon. Doakan, Ya!

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Saya menyesal atas waktu selama belasan tahun ini yang saya gunakan untuk hal-hal tolol. Menyedihkan! Kesibukan-kesibukan akhir ini membuat saya tersadar, ada hal besar yang menanti di masa depan. Ada kesempatan berharga yang bisa saya raih dalam kehidupan. Ada yang lebih penting daripada mengurusi kisah percintaan menye-menye ala remaja seumuran. Ada jatah hidup yang diberikan Tuhan, malang sekali jika tidak saya gunakan untuk membahagiakan orang tua dan orang lain. Sebelum diberikan kematian, semoga impian-impian saya sudah terpenuhi, atau setidaknya, gerbang menuju impian-impian itu pernah saya lintasi. Saya menyesal, tapi untuk malam ini saja. Besok, saya akan bergerak! Seribu langkah lebih kencang dari perjalanan yang sudah-sudah. Tuhan, ridhoi setiap langkahku dalam kehidupan, karena pada akhirnya... aku jua akan menuju-Mu.

 
Dok. Nafisah/ Pendopo Ambarukmo Februari '14

4 komentar: