Jumat, 28 Februari 2014

Mulai Edan, Dik?

Zaman masih waras (Nafisah-Poppy)/ Dok. Nafisah 2012

#1. Setiap kali mendengar “seseorang” yang berbicara menyebut diri sendiri dengan namanya, aku akan sangat kesal. Misalnya seseorang itu berkata begini kepadaku: “Naf, maaf Ujang nggak bisa ikut rapat ya.” Kamu tahu apa yang ingin kulakukan pada seseorang bernama Ujang itu? Aku ingin melemparnya dengan dompetku. Meski pada praktiknya, aku akan diam saja dengan raut tololku. Sudah berkali-kali kukatakan, aku membenci tuturan kekanak-kanakan serupa itu. Gunakanlah kata ganti yang cocok. Gunakanlah!

#2. Aku heran, heran sekali dengan sikap orang yang begini. Simak ceritanya!
Upik adalah seorang penari. Ia baru saja bergabung dengan tim tari di kampusnya. Upik diajar oleh senior-senior yang baik hati di tim itu. Upik selalu patuh, bertutur lemah lembut, dan menerima dengan lapang dada semua kritikan yang diberikan senior-seniornya. Hingga pada suatu hari, ada seleksi untuk mengikuti perlombaan tari di Baghdad. Tidak disangka, Upik adalah salah satu peserta terpilih. Hal ini membuat Upik mulai berani unjuk gigi. Ia melakukan segala cara agar bisa mewujudkan mimpinya itu, berkunjung ke negeri Baghdad. Upik mulai kehilangan kontrol atas dirinya, ia seringkali (setidaknya menurut saya) mempermalukan dirinya sendiri.
Pada suatu hari Upik tidak bisa ikut latihan. Bisul di pantatnya pecah. Ia tidak bisa genjot maksimal dalam setiap gerakan. Akhirnya, ia memutuskan untuk istirahat selama beberapa abad. Dalam istirahatnya, ternyata teman-teman Upik sedang mengikuti perlombaan lain, sebut saja di negeri Pra Baghdad. Mereka berlaga tanpa Upik. Upik hanya menyaksikan penampilan teman-temannya itu melalui video rekaman, lalu Upik menghujat. Ia mengatakan penampilan teman-temannya itu aneh, buruk, dan memalukan. Upik mengumpat dengan bertele-tele. Lalu, seorang senior meminta pendapat dan masukan dari Upik agar tim mereka bisa memperbaiki kesalahan. Lalu, dengan wajah “sok” polos dan tanpa berdosa Upik menjawab “Eh, nganu. Aku nggak ngerti kenapa hancur gitu. Eh aku lupa bagian mana. Eh mungkin aku salah liat.”
What the !@#$%^&*!!!

Ceritaku terlalu panjang dan tidak bisa dimengerti? Maaf, mungkin aku mulai gila. 

#3. Dulu, aku adalah seorang pembunuh. Aku tidak segan membantai siapapun dalam situasi apapun. Aku kejam rupanya. Hingga beberapa waktu yang lalu, aku disentil oleh ucapan seseorang yang seharusnya kukagumi. Ia pantas dijadikan teladan dan imam (*eh). Kepada seseorang yang sudah menegurku tentang pembunuhan ini, kuucapkan terima kasih. Aku berjanji kepada diri sendiri, aku tidak akan membunuh siapapun lagi. Kamu benar, pembunuh tidak mutlak menjadi pemenang.

#4. Mungkin aku mulai gila. Apa aku harus mengeluarkan semua yang tersendat agar tidak benar-benar gila? Eek misalnya.


Senin, 24 Februari 2014

Akhirnya #KampusFiksi

Alhamdulillah lulus. Semoga lancar dan bermanfaat :)


Sabtu, 22 Februari 2014

Pesan Menjelang Tidur



“Sayang, orang-orang tidak perlu tahu bahwa aku mencintaimu dan kamu juga tidak mau kalah. Bahwasannya, pada setiap pagi ada kopi beraroma pekat di meja kerjamu, dan ada kecupan basah yang membekas di keningku setelah terjaga.”

“Sayang, orang-orang tidak perlu tahu bahwa pada setiap malam tubuhmu meriang, dan kau selalu memintaku memelukmu. Hingga lamat-lamat kau tertidur dalam pelukanku, dan dengkuranmu yang sejujurnya agak menjijikkan itu turut menghiasi malamku.”

“Sayang, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang selalu memamerkan kisah mereka dalam potret palsu. Mereka, seolah-olah sedang riang gembira. Padahal, beberapa jam setelah membuat potret itu, mereka tidak saling sapa. Andai aku dan kau ingin menjadi penguasa kisah asmara, kita akan mengajarkan kepada orang-orang bagaimana cara bercinta yang benar. Tapi tidak, kasih kita lebih erat dalam kesederhanaan. Tanpa pujian orang-orang, tanpa kekaguman dari siapa pun jua.”

“Sayang, aku agak takut setiap kali kau memanggilku dengan sapaan bidadari surga. Kau tahu bidadari itu seperti apa wujudnya? Kau tahu bidadari itu bagaimana tuturnya? Mengerikan, Sayang. Jangan panggil aku dengan kalimat itu lagi, panggilan itu membuatku terjaga sepanjang malam.”

“Sayang, aku ngantuk. Selamat tidur, jangan lupa tersenyum dan memelukku.”



Sabtu, 08 Februari 2014

Susahnya Menangis



SUDAH LAMA SAYA TIDAK MENANGIS. MUNGKIN TERAKHIR KALI WAKTU SAYA SUSAH EEK MERASAKAN SAKITNYA CABUT GIGI SELAMA DUA JAM. Oh, mungkin menangis perkara fisik tidak pantas dimasukkan ke dalam hitungan. Kapan, ya terakhir kali saya menangis? Ah, saya sudah tidak ingat. Hati saya agak bebal akhir-akhir ini, susah tersentuh, susah merasa. Mungkin terlalu sering disakiti nonton komedi.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Dada sesak, pikiran mumet, dan tetap saja... saya tidak bisa. Sesak di dada hanya sampai ke kepala, mata saya ternyata tidak ingin bekerjasama untuk menyalurkan kesedihan ini. Mungkin, setelah ini saya harus bikin cerpen berjudul “Perempuan tanpa Air Mata”. Hahaha, ga lucu ya.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Delapan hari lagi, saya harus membayarkan uang sebesar 900ribu untuk suatu keperluan. Bukan, Ayah saya bukan pengangguran yang tidak bisa menafkahi putrinya. Ini adalah persoalan saya dengan diri sendiri, kuliah ditanggung orang tua, makan ini itu dan lain sebagainya juga, haruskah jalan menuju impian-impian besar saya juga orang tua yang menyuapinya? Tentu tidak! Sekali lagi tidak. Kamu, adalah gadis 18 tahun yang sudah disekolahkan ibu bapakmu belasan tahun lamanya. Tak adakah seuprit sedikit pun ilmumu yang bisa kau gunakan untuk mengumpulkan kertas keluaran bank yang disebut orang-orang dengan uang itu? Ada. Ada! Saya bisa menulis, saya bisa menghidupkan kembali bisnis online saya, saya bisa berhemat setidaknya. Barangkali dulu saya menulis dengan alasan munafik “menghidupkan dunia kesusastraan Indonesia”, sekarang saya akan ganti judul. Saya menulis untuk cari duit! Saya akan menulis genre apa pun, meski dicap alay bin lebay (apasih) sekalipun. Hidup itu pilihan, dan saya berjuang pada keputusan-keputusan yang terkadang menyedihkan. Jika kau, atau siapapun hendak menghujat, datanglah. Sampaikan dengan baik, dan saya akan menerima dengan senang hati.

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Malangnya, tentang duit lagi. Untuk pertama kalinya, saya berada di kepanitiaan yang membutuhkan dana sekitar 790juta. Dan sialnya, saya memilih menjadi tim sponsorship—tempat di mana uang itu menjadi tanggungjawab saya. Ke mana saya harus ngemis minta duit segepok gitu? Kalau saja prostitusi itu halal, saya akan jual gadis-gadis tim ke om-om kaya di negeri ini (hahaha *otaksetan*). Tunggu, tunggu. Saya tidak sendiri kok. Ada Lathif (koor kami yang baik hati dan sabar), Nuna (putri Kebumen yang ngomongnya kaya Power Ranger), Lana (yang sampai detik ini belum bisa melafadzkan huruf “R”), dan Anang (yang sering sakit (?). Teman-teman, kuatkan aku, kukuatkan kalian. Kita, adalah pejuang 790juta! Yey! #fyi Besok saya mau nodong pejabat-pejabat via telepon. Doakan, Ya!

Malam ini, saya ingin sekali menangis. Saya menyesal atas waktu selama belasan tahun ini yang saya gunakan untuk hal-hal tolol. Menyedihkan! Kesibukan-kesibukan akhir ini membuat saya tersadar, ada hal besar yang menanti di masa depan. Ada kesempatan berharga yang bisa saya raih dalam kehidupan. Ada yang lebih penting daripada mengurusi kisah percintaan menye-menye ala remaja seumuran. Ada jatah hidup yang diberikan Tuhan, malang sekali jika tidak saya gunakan untuk membahagiakan orang tua dan orang lain. Sebelum diberikan kematian, semoga impian-impian saya sudah terpenuhi, atau setidaknya, gerbang menuju impian-impian itu pernah saya lintasi. Saya menyesal, tapi untuk malam ini saja. Besok, saya akan bergerak! Seribu langkah lebih kencang dari perjalanan yang sudah-sudah. Tuhan, ridhoi setiap langkahku dalam kehidupan, karena pada akhirnya... aku jua akan menuju-Mu.

 
Dok. Nafisah/ Pendopo Ambarukmo Februari '14