Rabu, 05 Maret 2014

Dilarang jadi Pecundang



Ayah, pernahkah pada suatu malam kamu kedinginan dan Tuhan memaksamu untuk memimpikanku? Apa yang Tuhan bisikkan dalam mimpimu, Yah? Apakah Tuhan kata aku ini tidak menjaga amanah darimu? Atau, Tuhan menenangkanmu dengan segala hal baik tentang diriku? Ayah, kamu tahu, aku seringkali berbuat tolol di sini. Aku, mempermalukan diri sendiri.
Aku ingin pulang saja, Yah. Bertemu Ayah lalu menghabiskan malam dengan segelas teh telur dan buku-buku kebanggaan Ayah. Tapi kau tidak mendidikku untuk menjadi pecundang, Yah. Katamu, jika ingin menjadi pecundang, lebih baik memilih untuk tidak dilahirkan. Lalu ada seseorang dalam kepalaku yang bukan aku bertanya perihal itu.
“Pecundang itu apa? Apakah bisa dimakan atau dijadikan kekasih?”
Aku hanya mengerti satu definisi tentang pecundang, Yah. Penipu. Sudah, itu saja. Barangkali kisah tentang pecundang yang kau pesankan kepadaku itu agak berbeda, Yah. Ia memecundangi diri sendiri. Ia berbuat tolol kepada dirinya dan mimpi-mimpinya. Hingga menyesal, bahwasannya dalam setiap hari yang dijatahkan Tuhan, ia seharusnya bisa menjadi seorang makhluk bukan pecundang. Kemudian seseorang lainnya lagi yang ada di kepalaku bertutur bahwa aku bukan penipu jika berani melepas apa-apa yang tidak kusanggupi. Aku ingin melepas, Yah. Aku ingin bebas. Aku tidak ingin tertindas.
Ayah, kau benar. Aku akan kuat jika dipatahkan. Aku akan semakin keras jika dilemahkan. Ayah, aku tidak akan mempecundangi diri sendiri.
Ayah, tetaplah di hatiku. Seperti yang selalu kau katakan, “Sejauh apapun kamu, kita masih berada di langit yang sama, Sayang.”
Ayah... lihatlah ke langit, di sana ada aku yang tersenyum kepadamu. Pun, di sana juga ada aku yang ingin sekali memelukmu. Ayah, bangunlah dari mimpimu, putrimu lekas pulang.
Bulaksumur residence/ Dok. Nafisah 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar