Ayah,
pernahkah pada suatu malam kamu kedinginan dan Tuhan memaksamu untuk
memimpikanku? Apa yang Tuhan bisikkan dalam mimpimu, Yah? Apakah Tuhan kata aku
ini tidak menjaga amanah darimu? Atau, Tuhan menenangkanmu dengan segala hal
baik tentang diriku? Ayah, kamu tahu, aku seringkali berbuat tolol di sini.
Aku, mempermalukan diri sendiri.
Aku
ingin pulang saja, Yah. Bertemu Ayah lalu menghabiskan malam dengan segelas teh
telur dan buku-buku kebanggaan Ayah. Tapi kau tidak mendidikku untuk menjadi
pecundang, Yah. Katamu, jika ingin menjadi pecundang, lebih baik memilih untuk
tidak dilahirkan. Lalu ada seseorang dalam kepalaku yang bukan aku bertanya
perihal itu.
“Pecundang
itu apa? Apakah bisa dimakan atau dijadikan kekasih?”
Aku
hanya mengerti satu definisi tentang pecundang, Yah. Penipu. Sudah, itu saja. Barangkali
kisah tentang pecundang yang kau pesankan kepadaku itu agak berbeda, Yah. Ia memecundangi
diri sendiri. Ia berbuat tolol kepada dirinya dan mimpi-mimpinya. Hingga menyesal,
bahwasannya dalam setiap hari yang dijatahkan Tuhan, ia seharusnya bisa menjadi
seorang makhluk bukan pecundang. Kemudian seseorang lainnya lagi yang ada di
kepalaku bertutur bahwa aku bukan penipu jika berani melepas apa-apa yang tidak
kusanggupi. Aku ingin melepas, Yah. Aku ingin bebas. Aku tidak ingin tertindas.
Ayah,
kau benar. Aku akan kuat jika dipatahkan. Aku akan semakin keras jika
dilemahkan. Ayah, aku tidak akan mempecundangi diri sendiri.
Ayah,
tetaplah di hatiku. Seperti yang selalu kau katakan, “Sejauh apapun kamu, kita
masih berada di langit yang sama, Sayang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar