Rabu, 07 Mei 2014

LE- 1



Cerita ini akan sangat panjang, dan, barangkali tidak berkesudahan. Selamat membaca, iyakan semua tuturanku, atau pergilah.

Aku tidak memulai kisah ini dari awal, aku terlambat menyadari, bahwasanya cerita ini teramat berharga untuk kulupakan begitu saja. Sekali lagi, dengarlah suguhan seadanya ini. Maaf, muqodimah lagi.

Setahun ini, semua benda di kepalaku tunduk pada satu destinasi: Eropa. Aku dengan sengaja menghilang di kelas perkuliahan, di rapat-rapat rutin organisasi dan kepanitiaan, karena aku bangsat dan tidak bertanggung jawab, lagi-lagi, yang ada di kepalaku adalah Eropa. Barangkali, jika aku adalah anak jenius dengan kemampuan bahasa Inggris memadai, maka untuk menuju Eropa, aku tidak perlu sehina ini, mengemis minta uang ke setiap lini perusahaan. Tapi tak mengapa, duduk di bawah langit Eropa akan hambar tanpa perjuangan. Sebelum kalian bosan, aku akan berhenti bernarasi tentang perjuangan-perjuangan, percayalah, perjuangan-perjuanganku hanyalah bualan, untuk melengkapi bualan-bualan lainnya tentang perjuangan pembual-pembual seprofesi. Aku hanya si bangsat yang pura-pura berjuang dan tersiksa.

Bagaimana jika kita beralih tentang tumbuhnya perasaan-perasaan dalam setiap perjumpaan. Dari dulu, dulu sekali, aku akan sangat takut menghadapi hari-hari seperti ini, aku akan takut bertemu dengan orang itu dan itu lagi, setiap hari, dalam jangka waktu yang lama, dengan intensitas pertemuan yang memakan lebih dari setengah jatah hariku. Aku takut, jika aku terbiasa, terbudaya, tergantung, atau apalah untuk bertemu dengan orang-orang itu. Aku takut ditinggalkan. Aku takut dipisahkan. Memang, ini berlebihan, tapi tidak bagiku. Aku akan sangat merindukan, sejadi-jadinya rindu. Setiap momen pertengkaran, kesalahpahaman, kemesraan, ketegangan, kericuhan, kekesalan, dan semangat-semangat yang kamu dan kalian tularkan. Aku belum kuat jika dalam beberapa bulan lagi, kita akan berhenti melakukan rutinitas-rutinitas ini. Pekerjaan yang kian hari menjadi pengisi hariku paling setia. Aku takut jika pertemuan-pertemuan kita pada masa selanjutnya menjadi hambar, tanpa tekanan dari siapa pun jua, tanpa masalah, dan tanpa kasih sayang. Jika benar, aku lebih memilih untuk meninggalkan, karena sekali lagi, aku takut ditinggalkan.
Perjuangan kita belum berakhir, di dalam kepala setiap kita, masih ada kebusukan-kebusukan yang pada waktunya nanti harus kita lepaskan, kita tuntaskan. Jika kau, atau kalian menderita dengan kebusukan-kebusukan serupa ini, bersabarlah, terkadang perlu menjadi jahat untuk mempercepat pertemuan dengan hal baik, begitu. Aku tidak bisa mengungkapkan bagaimana sedih dan kesalnya aku melihat semua beban bertumpu di pundakmu, dan kau, dengan gayamu yang menyebalkan seakan bisa memikul segalanya. Jika kamu sedikit menurunkan gengsi dan pongahmu, akan banyak pundak-pundak lain yang akan berbagi denganmu, percayalah. Tapi tak apa, kuacungkan kedua jempolku untukmu, untuk segala usaha, kekerasan hati, dan perjuangan-perjuanganmu yang teramat berharga di dalam kepalaku, dan untuk segala kemurah-hatianmu kepada sesama makhluk Tuhan.

Ini baru bagian pembuka, akan kuselesaikan pada 22 Juni nanti. Semoga masih bisa bertemu dalam fananya kehidupan kota Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar