Cerita
ini akan sangat panjang, dan, barangkali tidak berkesudahan. Selamat membaca,
iyakan semua tuturanku, atau pergilah.
Aku
tidak memulai kisah ini dari awal, aku terlambat menyadari, bahwasanya cerita
ini teramat berharga untuk kulupakan begitu saja. Sekali lagi, dengarlah
suguhan seadanya ini. Maaf, muqodimah lagi.
Setahun
ini, semua benda di kepalaku tunduk pada satu destinasi: Eropa. Aku dengan
sengaja menghilang di kelas perkuliahan, di rapat-rapat rutin organisasi dan
kepanitiaan, karena aku bangsat dan tidak bertanggung jawab, lagi-lagi, yang
ada di kepalaku adalah Eropa. Barangkali, jika aku adalah anak jenius dengan
kemampuan bahasa Inggris memadai, maka untuk menuju Eropa, aku tidak perlu
sehina ini, mengemis minta uang ke setiap lini perusahaan. Tapi tak mengapa,
duduk di bawah langit Eropa akan hambar tanpa perjuangan. Sebelum kalian bosan,
aku akan berhenti bernarasi tentang perjuangan-perjuangan, percayalah,
perjuangan-perjuanganku hanyalah bualan, untuk melengkapi bualan-bualan lainnya
tentang perjuangan pembual-pembual seprofesi. Aku hanya si bangsat yang
pura-pura berjuang dan tersiksa.
Bagaimana
jika kita beralih tentang tumbuhnya perasaan-perasaan dalam setiap perjumpaan.
Dari dulu, dulu sekali, aku akan sangat takut menghadapi hari-hari seperti ini,
aku akan takut bertemu dengan orang itu dan itu lagi, setiap hari, dalam jangka
waktu yang lama, dengan intensitas pertemuan yang memakan lebih dari setengah
jatah hariku. Aku takut, jika aku terbiasa, terbudaya, tergantung, atau apalah
untuk bertemu dengan orang-orang itu. Aku takut ditinggalkan. Aku takut
dipisahkan. Memang, ini berlebihan, tapi tidak bagiku. Aku akan sangat
merindukan, sejadi-jadinya rindu. Setiap momen pertengkaran, kesalahpahaman,
kemesraan, ketegangan, kericuhan, kekesalan, dan semangat-semangat yang kamu
dan kalian tularkan. Aku belum kuat jika dalam beberapa bulan lagi, kita akan
berhenti melakukan rutinitas-rutinitas ini. Pekerjaan yang kian hari menjadi
pengisi hariku paling setia. Aku takut jika pertemuan-pertemuan kita pada masa
selanjutnya menjadi hambar, tanpa tekanan dari siapa pun jua, tanpa masalah,
dan tanpa kasih sayang. Jika benar, aku lebih memilih untuk meninggalkan,
karena sekali lagi, aku takut ditinggalkan.
Perjuangan
kita belum berakhir, di dalam kepala setiap kita, masih ada kebusukan-kebusukan
yang pada waktunya nanti harus kita lepaskan, kita tuntaskan. Jika kau, atau
kalian menderita dengan kebusukan-kebusukan serupa ini, bersabarlah, terkadang
perlu menjadi jahat untuk mempercepat pertemuan dengan hal baik, begitu. Aku
tidak bisa mengungkapkan bagaimana sedih dan kesalnya aku melihat semua beban
bertumpu di pundakmu, dan kau, dengan gayamu yang menyebalkan seakan bisa
memikul segalanya. Jika kamu sedikit menurunkan gengsi dan pongahmu, akan banyak
pundak-pundak lain yang akan berbagi denganmu, percayalah. Tapi tak apa,
kuacungkan kedua jempolku untukmu, untuk segala usaha, kekerasan hati, dan
perjuangan-perjuanganmu yang teramat berharga di dalam kepalaku, dan untuk
segala kemurah-hatianmu kepada sesama makhluk Tuhan.
Ini
baru bagian pembuka, akan kuselesaikan pada 22 Juni nanti. Semoga masih bisa
bertemu dalam fananya kehidupan kota Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar