---part 2---
Suhu
dingin pada awal Juni di tengah kota Roche La Molliere, Prancis tidak
menyurutkan semangat kontingen berbagai negara yang akan menggelar doa bersama.
Meksiko, Prancis, Mongolia, Rusia, dan Indonesia mengirim sepasang
utusan dengan pakaian adat khas negara masing-masing untuk berjalan di altar
gereja. Utusan Indonesia mengenakan baju adat khas Sunda
berwarna merah marun dibalut dengan penutup kaki bercorak batik khas Yogyakarta.
Setelah semua jemaat hadir, pintu gereja ditutup dan kelima pasangan berjalan
di altar diiringi dengan nyanyian syahdu ala gereja.
Indonesia,
sebagai satu-satunya kontingen yang mengenakan kostum adat yang sekaligus
bercirikan identitas agamanya, yakni kerudung, turut menyampaikan doa di
hadapan para jemaat menggunakan bahasa Arab. Doa ini dibacakan oleh Yulian
Prasetya, pria pendiam yang digaet Rampoe UGM sebagai
fotografer tim selama mengikuti Festival Mondial De Folklore di Belgia dan Festival
Festiroche—Roche La Molliere, Prancis. Doa berbahasa Arab
tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh seorang pria
muslim asal Maroko yang merupakan pendamping tim Rampoe
UGM. Menurut pengakuan si pria, setelah ritual dibubarkan, banyak jemaat yang
datang menemui beliau untuk memberitahukan bahwa doa yang dibacakan kontingen
Indonesia sangat indah. Mereka sangat ingin tahu terhadap doa yang disampaikan
tersebut.
Rampoe
UGM sebagai perwakilan Indonesia dalam acara ini merupakan sebuah tim tari yang
fokus mengembangkan tarian Aceh dan berada di bawah Departemen Minat dan Bakat
Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM. Akan tetapi, partisipan
dalam kegiatan kali ini berasal dari berbagai jurusan dan fakultas di UGM. Hal
ini membuktikan bahwa dalam mengemban misi komunitasnya, Rampoe UGM membuka
diri terhadap partisipan yang berminat dari luar. Jadi tidak salah jika selama 2—11
Juni 2014 di Belgia dan Prancis, kontingen Indonesia ini terkenal dengan
toleransi, keramah-tamahan dan keunikan budayanya.
Dalam
pelaksanaan ibadah besar yang rutin dilaksanakan setiap tahun di gereja ini,
ada dua poin penting yang dapat dijadikan pelajaran. Pertama mengenai toleransi
beragama. Meski gereja identik dengan tempat ibadah umat kristiani, semua
peserta yang sedang mengikuti Festival Festiroche—Roche La Molliere ini
bersedia mengikuti agenda yang telah ditetapkan panitia. Islam, Katolik, Kristen,
bahkan penganut Ateis sekalipun berbaur menjadi satu, berdoa sesuai dengan
bahasa mereka masing-masing pula, dengan satu tujuan, kebaikan untuk seluruh
umat di dunia.
Selanjutnya,
keteguhan hati terhadap kepercayaan masing-masing. Setelah toleransi, ada
hal-hal yang sudah tidak dapat diganggu gugat, misalnya, dalam proses
pelaksanaan ritual, ketika pastur memberikan roti tanpa ragi kepada setiap
jemaat, kontingen muslim Indonesia tidak ikut serta memakannya. Hal ini
dipesankan oleh pendamping tim kepada leader
Rampoe UGM. Meski begitu, proses beribadah umat kristiani tersebut berjalan
dengan lancar dan khidmat. Ditambah lagi selama berjalannya kegiatan ibadah,
tidak seorang pun diperkenankan mengambil potret atau menyalakan gadget. Hal ini serupa dengan peraturan
di tempat beribadah umat muslim, ponsel dan gadget
lainnya dianjurkan dalam keadaan mati atau silent.
Beribadah di gereja menjadi pengalaman
tersendiri bagi seorang muslim. Setelah kembali ke lokasi festival, terjadi
diskusi serius antarkontingen mengenai ritual yang baru mereka saksikan.
Pengalaman yang jarang terjadi ini memberikan kekuatan tersendiri dalam diri
setiap kontingen untuk lebih menghargai antarumat beragama.
Usai
kegiatan, setiap peserta dikembalikan ke host-family
masing-masing. St. Etienne, sebagai kota besar tempat berdiam diri Marc Faurend
dan keluarganya sudah memanggil untuk segera pulang. Sepaket makanan ala benua
biru itu sudah disiapkan Odille (mama) di meja makan: pizza, ayam, karamel, dan
beberapa gelas minuman bersoda sudah meminta untuk segera disantap. Sembari
makan, muncul lagi diskusi mengenai toleransi budaya, toleransi agama, dan
berbagai bentuk toleransi lainnya. Sambil menunjukkan sebuah peta Eropa, Marc
menggambarkan tentang kota Paris yang menjadi pusat kota di Prancis. Kemudian,
ia mengambil peta dunia dan meminta untuk ditunjukkan Indonesia, Yogyakarta,
dan Aceh sebagai daerah asal tarian yang dibawakan Rampoe UGM. Marc
menggeleng-gelengkan kepala ketika diberitahu bahwa dari Indonesia ke Prancis
dibutuhkan waktu terbang kurang lebih 17 jam dan, ia serta keluarga sangat
ingin datang ke Indonesia dalam waktu dekat.
Waktu kepulangan
semakin dekat, hingga tidak terasa kontingen Rampoe UGM harus terbang dari
Schipol, Amsterdam menuju Bandara Soekarno Hatta. Seberkas dokumentasi sudah
disimpan di tangan, beragam memori tentang keindahan langit Eropa juga sudah
ditata rapi di ingatan, dan pelajaran-pelajaran yang didapat sudah siap
diamalkan. Selamat datang kembali Indonesia, tanah air yang kaya akan alam dan
budayanya, semoga dapat ambil bagian dalam perdamaian dan kemaslahatan umat
seluruh dunia, meski hanya dalam sebait doa di gereja pada waktu lalu.
---bersambung