Si Padang karya Harris Effendi Thahar ini lagi-lagi mengingatkan saya pada
sastrawan favorit saya: Aa Navis. Bagaimana tidak, pada kata pembukanya yang ia
beri judul “Obsesi Si Padang” tersebut, disematkan beberapa pesan Aa Navis
kepada penulis, seperti “Untuk menulis cerita jangan sekali-kali menulis apa
yang telah ditulis orang. Untuk membuat pembaca tertarik, harus ada
kejutan-kejutan yang membuat orang terperangah.” Harris juga menegaskan prinsip
Aa Navis yang baru mau berbicara dalam posisi sejajar dengannya ketika ia sudah
bisa menembus media besar dan bergengsi. Kalau tidak, Aa Navis menganggap ia
belum setara dengan Harris. Ia adalah sastrawan nasional, dan Harris adalah
sastrawan lokal. Hal ini tidak mengejutkan saya, karena sehari-hari, Aa Navis
memang dikenal sebagai sastrawan senior ‘pencemooh kelas ulung’, dan hal itu
sudah melekat pada dirinya.
Pada review pertama ini, perlu saya beritahu bahwa tugas ini akan
membebani diri saya hingga minggu-minggu berikutnya. Mengapa? Berkat dua orang
teman saya yang calon direktur penerbitan dan editor handal itu, saya jadi
ikut-ikutan berjudi sastra dengan menjanjikan satu review buku per minggunya,
dan sialnya, pada kali pertama taruhan ini, sayalah yang harus menraktir mereka
makan sebab saya tidak menaati aturan deadline pengupload-an review. Baiklah,
saya tidak akan beralasan apa-apa untuk keterlambatan ini. Waktu satu minggu
untuk –sekadar- membaca buku lalu menuliskan reviewnya adalah sangat panjang,
jadi tidak ada pembenaran utnuk keterlambatan saya ini. Baiklah, selamat
membaca, ya, Mas Mumu dan Galer, selepas itu kita makan-makan.
“Si Padang” adalah judul cerpen pembuka pada kumpulan cerpen karya
Harris Effendi Thahar. Cerpen ini mengisahkan kemunafikan seorang bapak yang
sekaligus mamak untuk kemenakannya. Sang bapak yang menampung kemenakan di
rumahnya ini pada akhir cerita dikisahkan mengamuk karena anaknya Lidia
ditemukan tengah berbuat senonoh dengan pacarnya di dalam kamar. Padahal,
sesaat sebelum itu, kemenakannya diam-diam menjadi sopir taksi ilegal mengantarkannya
bersama selingkuhannya ke sebuah rumah pondokan.
Cerpen selanjutnya, “Si Paris”, berkisah tentang seorang tua yang
memiliki anak yang sudah sukses di rantau. Ia membanggakan anak lelaki
satu-satunya itu pada setiap pembicaraan di lepau-lepau. Meski, jauh dalam
hatinya ia merasakan kesedihan yang mendalam karena anaknya yang telah sukses
itu jarang sekali memiliki waktu untuknya. Bahkan untuk sekadar bercakap lewat
telpon saja ia harus meninggalkan pesan suara lewat mesin telpon terlebih
dahulu. Bagian akhir cerita ditutup dengan kematian sang ayah yang kemudian
membuat Alwi pulang ke kampung dan menjumpai warisan dari ayahnya yakni tanah
merah dan buku tabungan di bank yang merupakan kumpulan weselnya yang tidak
pernah dicairkan oleh sang ayah.
Tidak jauh berbeda dengan cerpen kedua, cerpen selanjutnya yang
berjudul “Seperti Koin Seratusan” juga membahas harta warisan yang ditinggalkan
oleh seorang ayah, yakni uang logam yang sangat banyak jumlahnya sehingga
anak-anaknya yang menetap di tanah rantau kesulitan untuk membawa harta warisan
itu ke tempat tinggal mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menitipkan
harta warisan itu kepada dua orang saudaranya yang tinggal di kampung halaman.
Cerita yang diangkat oleh Harris dalam setiap cerpennya merupakan kisah-kisah
yang memilukan. Cerpen “Ning” berkisah tentang seorang anak perempuan muda yang
masih duduk di sekolah dasar. Anak itu seringkali menunggu ibunya sepulang
sekolah karena sang ibu terlambat menjemput. Hingga pada suatu kesempatan, ia
marah dan memutuskan untuk berjalan sendirian. Akan tetapi, ia malah ditolong
oleh seorang laki-laki yang belakangan diketahui adalah anak dari ayahnya
dengan istri sah sang ayah. Ning kecil yang tidak mengerti apa-apa,
bahagia-bahagia saja ketika mengetahui hal tersebut.
Setelah “Ning”, Harris bercerita mengenai “Beras Pirang”, “Isi Hati
Umar Jotos”, “Jalan Sepanjang Cinta”, “Kacamata Emak”, “Kades Mungkaruddin”, “Layang-layang
Putus di Kala Senja”, dan sederet cerpen-cerpen bertema kehidupan lainnya. Jika
Anda berwaktu luang, sempatkanlah membaca kumpulan cerpen ini, setidaknya,
selesai membacanya Anda akan memiliki waktu untuk merenungkan kehidupan barang
sebentar saja. Demikian!
Thahar, Harris Effendi. 2003.
Si Padang. Jakarta: Kompas.